Sabtu, 01 Oktober 2011

FILSAFAT MODERN

Filsafat modern dimulai pada zaman Rene Descartes (1596-1650 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M). Akan tetapi, peran dominan Descartes lebih tampak karena berupaya mengembangkan aspek-aspek epistemologi dalam era baru filsafat Barat.
Ruang pemikiran dimana Descartes hidup sangat berperan dalam mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa aspek yang mempengaruhi pikiran-pikirannya:
1. Lahirnya penemuan-penemuan baru ilmiah yang dimotori oleh Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo;
2. Penciptaan teleskop yang berefek pada penolakan beberapa asumsi-asumsi yang tidak benar pada masa lalu;
3. Penemuan benua Amerika dan perubahan teori terhadap bentuk bumi;
4. Direbutnya ibukota Yunani dan dikenalnya budaya ilmiah kaum muslimin oleh Eropa;
5. Dibentuknya mazhab baru Protestan oleh Martin Luther (1483 – 1546 M) dan berkurangnya kekuasaan gereja;
6. Lahirnya teolog baru seperti Francis Bacon dan bangkitnya aliran baru melawan pemikir-pemikir lama yang diiringi oleh penolakan filsafat Aristoteles;
7. Munculnya beberapa pandangan yang menolak secara mutlak pemikiran filsafat yang kemudian berujung pada Skeptisisme yang dipelopori oleh Francisco Sanches (1551-1623 M).[1]
Walhasil, faktor-faktor yang disebutkan di atas dan beberapa faktor lain yang tidak disebutkan, saling berpengaruh satu sama lain yang kemudian mengerucut pada kemunculan dimensi-dimensi keraguan terhadap agama, etika, dan keyakinan yang ekstrim atas ilmu-ilmu empirik. Semua kenyataan ini, menjadikan epistemologi sebagai pokok pembahasan tersendiri dalam era baru filsafat Barat.

1. Rene Descartes (1596-1650 M)[2]
Persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:

1. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
2. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
3. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
4. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?[3]
Descartes menjadikan hal yang tergamblang, penggabungan, analisa, dan keraguan segala sesuatu dalam mencapai pengetahuan pertama sebagai metode sempurna dalam menggapai pengetahuan-pengetahuan selanjutnya.
Dalam tingkatan keraguan, pertama-tama meragukan segala yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa kita dalam kondisi tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh setan. Intinya, kita mesti meragukan apa yang diyakini dan harus sampai pada puncak keraguan. Setelah mencapai puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan pengetahuan pertama, dan terus mencari ilmu secara bertahap dengan pengetahuan pertama tersebut.[4][5]
Tahapan kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada tahapan ini, Descartes berkata, "Saya ragu pada setiap sesuatu, namu saya tidak bisa meragukan keraguan saya itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri dan dikarenakan keberadaan keraguan ini, saya sampai pada suatu keyakinan terhadap eksistensi peragu.[6]
Menurut Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah kegamblangan dan keterpisahan, yakni setiap perkara seperti keraguan, sedemikian gamblang dan terpisah satu dengan lainnya sehingga tidak bisa diragukan lagi, inilah pengetahuan hakiki.[7]
Keyakinan terhadap persepsi fitrah juga merupakan gagasan penting dalam filsafat Descartes. Konsep-konsep fitrah seperti, Tuhan, waktu, jiwa, dan benda, yakni perkara-perkara yang secara potensial terdapat dalam jiwa yang kemudian mengaktual secara evolutif. Iasangat menekankan aspek-aspek epistemologi dan meyakini kesesuaian gambaran pikiran dan realitas eksternal.[8]

2. Benedict de Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza sepakat terhadap tolok ukur "kegamblangan" dan "keterpisahan" yang diajukan oleh Descartes itu dan memandang bahwa pikiran dan realitas eksternal adalah satu. Tentang persoalan hakikat, iamengajukan adanya keharmonisan dan keberaturan, yakni suatu hukum hanya akan benar jika seirama dan harmonis dengan sistem keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal.
Ia kemudian membagi pengetahuan-pengetahuan itu ke dalam pengetahuan indriawi dan intuitif (syuhud). Pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan mesti dimulai dari Tuhan.[9]

3. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)
Leibniz beranggapan bahwa dalam setiap hukum yang benar, predikatnya terdapat dalam subyek. Ia merupakan orang pertama yang membedakan antara pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan eksternal. Dan memandang bahwa pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-kontradiksi, yakni penolakan atas kaidah ini akan berujung pada kontadiksi itu sendiri. Sebagaimana Descartes, iapercaya pada konsep-konsep fitrah.[10]

4. Para Filosof Empiris Inggris
Kaum empiris menolak konsep-konsep fitrah yang diyakini oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Kaum ini lebih menekankan konsep-konsep yang bersumber dari indra lahir dan empirisitas.
Filosof empirik memiliki kecenderungan yang berbeda, karena keragaman persepsi-persepsi dan indra-indra. Berkaitan dengan dimensi persepsi, sebagian mereka menekankan empirisitas pada konsepsi dan keyakinan, dan sebagian lain hanya pada konsepsi. Sementara yang berhubungan dengan indra, sebagian hanya meyakini indra lahir, dan yang lainnya berpegang pada kedua indra, yaitu indra lahir dan indra batin. Hasil-hasil pemikiran dari kelompok ini niscaya akan berbeda satu sama lain.

5. John Locke (1632-1704 M)
John Locke beranggapan bahwa sebelum memulai kajian dan pembahasan lainnya, sangat penting membahas tentang kodrat dan kemampuan akal untuk sampai pada pengetahuan, penetapan batas-batas akal, dan sumber-sumber makrifat dan keyakinan,. Iamenekankan analisa dan pengujian atas sejarah, dan empirisitas dalam pandangannya meliputi hal-hal yang lahiriah dan batiniah.[11]
John Locke tidak mengingkari potensi manusia yang berkaitan dengan semua pengetahuan, namun menolak keberadaan konsep-konsep aktual yang terdapat dalam jiwa dan pikiran.[12]
Menurutnya, indra lahir dan batin merupakan sumber semua pengetahuan dan menolak sumber pengetahuan lainnya, seperti intuisi rasional. Iaberkeyakinan bahwa seluruh bahan persepsi dan pemikiran diperoleh dari hal-hal indriawi dan observasi empiris dengan perantaraan panca indra lahir di alam luar serta di alam batin dengan menggunakan indra batin. Konsep-konsep ialah perantara antara pikiran dan realitas eksternal, dan sebagian dari konsep-konsep berhubungan dengan perasaan manusia.[13]
John Locke membagi konsep-konsep itu menjadi tunggal dan jamak, universal dan partikular, satu indra dan banyak indra, substansi, hubungan, dan keadaan. Iajuga menerima keberadaan substansi untuk menerima aksiden-aksiden.[14]
Ia menerima konsep-konsep universal dan abstrak, konsep ini bebas dari pengaruh waktu, tempat, dan partikular. Walaupun pemikiran-pemikirannya ini memiliki banyak penafsiran.[15] Baginya, pengenalan itu terbagi atas intuisi, argumentasi akal, dan indriawi. Pengenalan intuisi lebih tinggi dari akal dan akal lebih tinggi dari indra lahir. Pengetahuan terhdap diri sendiri ialah bersifat intuisi, ilmu terhadap Tuhan dicapai lewat argumentasi akal, dan ilmu tentang alam eksternal dicapai lewat panca indra lahir.[16]
Dalam pembahasan kausalitas, ia lantas membedakan antara konsep "sebab" dan konsep "akibat" dengan prinsip "kausalitas" (setiap akibat bergantung pada sebab). Konsep tentang sebab dan akibat itu dihasilkan lewat pengamatan internal dan perhatian atas kinerja iradah, dan "pembenaran (penghukuman)" itu diperoleh dari pengaruh timbal balik antara maujud-maujud, yakni pikiran meraih konsep "sebab" dan "akibat" dari pengamatan internal hubungan antara jiwa dan iradah, maka hubungan konsep-konsep itu satu sama lain akan tercipta setelah mereka diletakkan secara sejajar dalam pikiran kita, dan karena gamblangnya masalah itu, akal kemudian menghukumi dan membenarkan hubungan tersebut.[17]
John locke nampaknya seorang empiris yang moderat, karena iatidak menolak akal dan ilmu-ilmu hudhûrî. Dengan alasan ini, banyak aspek positif dalam pemikirannya, walaupun solusi yang ditawarkan dan penjelasannya masih belum sempurna.

6. George Berkeley (1685-1753 M)
Berkeley beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat. Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil. Sebagai contoh, konsep yang abstrak mengenai gerak yang lepas dari benda bergerak dimana gerak itu tidak cepat, tidak lambat, tidak berotasi, dan tidak lurus adalah hal yang mustahil, begitu pula mengkonsep segitiga yang tak bersudut.
Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara khayal, gambaran partikular, dan konsep-konsep universal, yakni adalah sangat jelas bahwa mustahil mengambil gambaran segitiga selain dari segitiga sama sisi, sama kaki, atau siku-siku. Konsep dan makna universal segitiga bukanlah gambaran segitiga tersebut. Dan menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek eksternal, konsep-konsep partikular, dan kata-kata umum yang tidak menunjuk pada sifat-sifat khusus sesuatu.[18]
Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep itu. Jadi tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep yang terlepas dari segala karakteristik dan partikularitas.
Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, "benda tertentu berwujud", maka yang dimaksud ialah, "saya memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi benda itu". Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil, diantaranya bahwa iatidak membedakan antara kualitas pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca: gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini semuanya berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai dengan persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.[19]
Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran konsep-konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang non-materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah suatu akibat (ma'lul) dan penyebabnya ('illat) adalah suatu maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak membutuhkan lagi keberadaan maujud-maujud materi sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut.[20]
Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep universal, tak ada alasan lagi menerima prinsip kausalitas. Pada hakikatnya, Berkeley hanya sebatas meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular, perubahan, dan kehadiran baru konsep-konsep indriawi dan imajinasi, dikarenakan kaidah kesesuaian sebab dan akibat, maka iajuga menuntut sebab-sebab yang sesuai dan setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-sebab yang juga senantiasa berubah dan baru tercipta seperti materi itu.
Walhasil, George Berkeley menafikan dan meragukan adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud materi, namun iamenerima eksistensi jiwa manusia dan Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia dipandang sebagai penyebab konsep-konsep khayali.

7. David Hume (1711-1776 M)
David Hume beranggapan pentingnya pembahasan mengenai proses pemahaman manusia. Ia membagi persepsi itu menjadi "konsepsi" (pemahaman, pengertian at-tashawwur) dan "impresi" (kesan, al-inthibâ'). Impresi ialah efek, kesan, atau pengaruh yang sangat dalam terhadap pikiran yang hadir secara visual (melalui mata). Sementara, konsepsi adalah persepsi yang sangat lemah yang hadir di alam pikiran ketika berpikir tentang suatu perkara.[21]
Ia juga sebagaimana John Locke yang memandang sumber segala pengetahuan manusia itu adalah empiris dan impresif. Dan ia menegaskan bahwa apabila setiap konsep itu berpijak dan bersesuaian dengan impresi, maka konsep itu dikatakan bermakna, dan jika tidak demikian, maka ia tidaklah menjadi bermakna.
Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah hubungan antara maujud-maujud dan perkara-perkara hakiki, sementara matematika itu adalah hubungan antara konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan sebagai hal-hal yang pasti dan niscaya. Dan menolak hal ini akan berujung pada kontradiksi. Namun, berbeda dengan hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara hakiki yang tidak memiliki dua kemestian dan kepastian tersebut.[22]
Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara eksternal dan hakiki dengan metode hubungan kausalitas, oleh karena itu, ia berupaya mengkaji dan menganalisa hubungan kausalitas itu. Akan tetapi, kausalitas itu ia pandang sebagai suatu "kebiasaan" dan "tradisi" pikiran, puncak analisanya ini adalah menafikan hubungan kausalitas itu dan tak ada jalan mengenal alam eksternal. Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar pikiran dan jiwa manusia adalah hal yang mesti diragukan keberadaannya.[23] Sesungguhnya, kemestian berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahir (Sensisme) pada wilayah konsepsi dan pembenaran (at-tashdiq) adalah akan berpuncak pada keraguan dan skeptisisme.
Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab dan akibat ialah bahwa panca indra lahir tak bisa mencerapnya.[24]
Apabila Hume memperhatikan poin penting dalam pandangan John Locke, maka mustahil ia menekankan analisanya yang keliru tentang kausalitas itu, karena sebagaimana yang dungkapkan oleh Locke dengan mudah akan dipahami hakikat 'sebab' dan 'akibat' itu dalam diri kita sendiri, yakni konsep 'sebab' dan 'akibat' tersebut terabstraksi dari kondisi internal manusia (konsep ini berasal dari hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah dimana jiwa sebagai 'sebab' iradah dan iradah 'akibat' dari jiwa).
David Hume sebagaimana Berkeley , menolak konsep-konsep universal itu dengan mengungkapkan beberapa argumen. Salah satu argumennya adalah dimensi partikularitas setiap sesuatu dan keberadaan impresi di alam pikiran.[25] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hume tidak menganalisa persoalan kausalitas itu dengan cermat dan teliti, dan bahkan ia cenderung mencampurnya dengan persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami dua dimensi yang terdapat dalam konsep-konsep universal yaitu dimensi (yakni keberadaan aktual dan partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni penghikayatan dan percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep universal itu bisa mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep universal manusia yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).
Hume juga menolak atau meragukan keberadaan substansi-substansi bendawi, hal ini karena kita tidak merasakan dan memahami sesuatu yang lain (yang berada di luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan persepsi itu sendiri (karena berada dalam pikiran kita), disamping itu, tidak ada argumentasi rasional akan eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan perbedaan antara kualitas pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca: gambaran benda luar dalam pikiran).[26]
Konklusi pemikiran Hume seperti di atas tidak lain karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan demikian, tak ada jalan baginya untuk membuktikan alam eksternal dan maujud hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia itu tidak memandang selain persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi manusia, tidak ada suatu maujud lain yang tunggal dan kekal yang dinamai "aku" yang bisa dicerap dan diketahuinya.[27]
Namun, dengan memperhatikan penyandaran segala persepsi terhadap "aku" dan perbandingan serta hubungan antara proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan dan kondisi jiwa yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan eksistensi "jiwa" sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.

Epistemologi dalam Filsafat Islam
Nampaknya, epistemologi bukan hal yang dikhawatirkan oleh para filosof muslim. Epistemologi bukan sebagai kajian utama dan inti dalam filsafat Islam. Persoalan-persoalan mendasar yang hadir dalam epistemologi secara implisit telah diulas dan dikaji di sela-sela pembahasan filsafat Islam. Karena itu, disepanjang evolusi pemikiran filsafat Islam tidak akan dijumpai satu karya yang secara terpisah membahas persoalan epistemologi. Akan tetapi, karena persoalan epistemologi sedemikian membengkaknya, para filosof Islam kontemporer menganggap urgen untuk mengkajinya secara mandiri dan terperinci serta memisahkan dari pembahasan filsafat.

1. Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia melihat bahwa penalaran akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber pengetahun. Akal bertujuan untuk mempersepsi hal-hal universal dan realitas non-fisik, sementara panca indra yang berhubungan dengan perkara-perkara partikular dan benda-benda fisik. Ia beranggapan bahwa akal dan panca indra itu sebagai persepsi-persepsi yang nyata dan tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki kemampuan untuk mengungkap, menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.[28]

2. Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan adalah penalaran akal dan pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan tahapan awal bagi lahirnya penalaran-penalaran rasional.[29] Ia membagi ilmu itu menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana proses hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap keyakinannya pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal dan mendefinisikannya sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup individu-individu eksternal yang banyak.[30]

3. Abu Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak menguraikan persoalan yang terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu kajian pentingnya adalah pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu ialah penggambaran sesuatu oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman hakikat sesuatu dan penggambaran bentuk sesuatu.[31]
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan indra. Dan membagi indra itu menjadi indra lahir dan indra batin, serta menempatkan indra itu sebagai sumber awal pengetahuan.[32] Persepsi atas konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia[33]. Pengetahuan manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap bahwa hal-hal yang gamblang (badihi, tak butuh pada argumentasi) itu bersifat yakini dan bersesuaian dengan kenyataan luar[34]. pengetahuan tentang eksistensi jiwa itu adalah bersifat hudhûrî (lawan dari hushûlî) dan menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua kondisi jiwa.[35]

4. Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma'lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek luar itu sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu itu adalah emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan pernah bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu.[36]
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-'irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal[37]. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan argumentasi-argumentasinya.[38]
Tentang konsep-konsep universal, ia memiliki dua pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi yang dianut oleh kaum Peripatetik tentang universal (yakni universal itu bisa mencakup individu yang banyak) dan gagasan keduanya ialah bahwa universal itu sama dengan dengan khayal dan imajinasi partikular.[39]

5. Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.[40]
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara 'âlim (yang mengetahui) dengan ma'lum bidz-dzat[41] (pengetahuan esensial).[42] Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.[43]

6. Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif dengan akal (burhân, demonstrative proof)[44] dan metode intuitif ('irfâni, gnosis)[45] merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan hakiki.[46]
Akal dan indra itu dipandang olehnya sebagai alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî. Ilmu terhadap diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî.[47]
Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: "Apakah pemikiran[48] mereka itu sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah kekeliruan? Atau mereka juga meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka katakan bahwa pemikiran mereka itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya kebenaran sejati dan pengetahuan hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap pemikiran mereka itu adalah batil, maka ini berarti bahwa mereka menafikan pemikiran mereka sendiri. Dan untuk soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga ragu pada keraguan mereka atau yakin padanya? Jika mereka memiliki keyakinan atasnya, maka mereka percaya terhadap wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka ragu atasnya, maka seluruh perkataan mereka sama sekali tidak berguna[49] dan sebaiknya kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan mereka sendiri."[50] Mengenai hal-hal yang gamblang dan badihi itu, ia menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.[51]
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik diperoleh secara langsung dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud non-materi dicapai dengan intuisi (hudhûrî). Dalam keadaan maujud-maujud itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra kita, maka yang hadir di alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian gambaran itu dengan objek-objek eksternal.[52] Argumentasinya ialah: Jika kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di alam pikiran kita atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini adalah batal, karena seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan keadaan pasca berilmu, sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam diri kita. Dan apabila sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu), namun, tidak sesuai dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ilmu terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan kita terhadap segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.[53]

7. Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang itu sebagai pengetahuan pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat dan sumber pengetahuan manusia.[54] Ada tingkatan dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât) itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât)[55] dan benda-benda fisik (al-mahsûsât) merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.[56]

8. Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya, mustahil mendefinisikan ilmu itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada ilmu yang dengannya ia terdefinisikan.[57] Ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke dalam ilmu hudhûrî.[58]Dalam pandangannya, keyakinan itu memiliki tingkatan, tingkatan pertama ialah 'ilm al-yaqîn (argumen rasional), 'ain al-yaqîn (intuisi 'irfani), dan haqq al-yaqîn (kesatuan wujud).[59] Mengenai konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan gagasan kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya sebagai "penyaksian (al-musyâhadah) intuitif maujud-maujud non-materi".[60]
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang sesuai dengan objek-objek eksternal.[61] Dan pada hakikatnya, akal bisa mengetahui hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia berpotensi menerima manisfestasi dan tajalli seluruh hakikat luar.[62]
Mulla Sadra membagi konsep-konsep universal itu menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis, logikal. Konsep-konsep filosofis dan logikal itu disebut sebagai "kategori kedua yang dicerap oleh akal" (secondary intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa konsep-konsep kedua filosofis (philosophical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek eksternal dan sementara konsep-konsep kedua logikal (logical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek dalam pikiran.[63] Apakah konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau majasi? Ia menyatakan bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari tingkatan-tingkatan wujud eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran dan pengungkapannya pun akan lemah dan berada pada batas "kemungkinan" untuk dicerap oleh akal. Dan begitu pula sebaliknya, suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan dan pancaran wujudnya pun akan semakin kuat dan berada pada batas "kemestian" untuk bisa diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas "kemungkinan" dan "kemestian" untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat eksistensi.[64]
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah mengenai wujud pikiran.[65] Materi ini ia jelaskan secara terperinci.[66] Dalam kajian tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas objek pikiran dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian sehingga tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi dan burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, "Ketika kita meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu, pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan objek eksternalnya.[67]

9. Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277 H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma yang merupakan pijakan utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud pikiran tidak berbeda dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan tentang philosophical and logical secondary intelligibles, ia menjelaskannya secara khusus:
1. Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek eksternal dan juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal. Masing-masing konsep itu mempunyai objek abstrasi tersendiri[68]
2. Konsep-konsep filosofis adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek di alam eksternal, akan tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di alam pikiran. Di alam luar tidak akan ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi perbedaan itu hanya ada di alam pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi pada satu objek eksternal.[69]
3. Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari konsep-konsep kuiditas yakni suatu sifat khusus bagi perkara-perkara di alam pikiran (subjektivitas) dan dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam pikiran. Konsep ini tidak berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal (objektivitas) dan tidak menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari objek-objek luar. Konsep-konsep ini adalah sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara pikiran semata.[70]

Ia juga beranggapan bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu berbanding lurus dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu berdasarkan asumsi yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah ketiadaan, terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar, atau memiliki bentuk-bentuk eksistensi yang lain.[71] Gagasannya ini merupakan poin penting dalam pembahasan epistemologi.

10. Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan epistemologi sebagai disiplin ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di alamatkan kepada epistemologi, ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan jawabannya yang akurat serta membahas poin-poin penting epistemologi. Ia sepakat dengan filosof-filosof sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan pengamatan indriawi sebagai alat dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian epistemologinya adalah bahwa ia bersandar pada ilmu hushûlî dan mengembalikan semua ilmu hushûlî itu kepada ilmu hudhûrî. Ia menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi ilmu adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal.[72] Dikarenakan ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan. Dengan kata lain, ilmu hudhûrî secara langsung menangkap objek-objek eksternal.[73]
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat dan sumber pengetahuan manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra batiniah atau konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap bersumber dari indra batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra lahir seperti mendengar, melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan melihat itu misalnya merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas penglihatan (al-quwwah al-bâshirah)[74] dan kita mendapatkan gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa, bukan dari penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu. Penglihatan mata itu akan menghasilkan reaksi khusus fakultas jiwa dan segala gambaran dan konsep pikiran yang dicerap dari fakultas tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan esensial (ma'lum bidz- dzat, essential known).[75] Dari hal ini, menurutnya, objek-objek eksternal pada hakikatnya adalah pengetahuan aksidental (ma'lum bil 'aradh, accidental known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak dipaparkan oleh para filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi konsep-konsep filosofis seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden, wujud, tiada, dan lain-lain. Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada prinsipnya, perspektif seperti ini sekaligus merupakan jawaban atas keraguan David Hume dan Immanuel Kant yang menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat, dan sejenisnya dan menganggap segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran semata, hal ini karena, menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap langsung oleh indra lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa apabila suatu konsep yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas dikategorikan sebagai konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan khayalan semata.[76]
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam sebelumnya yang memandang hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu yang melandasi pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan dengan keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya senada dengan Syaikh Isyraq.[77]

11. Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis tafsir atas karya gurunya sendiri, Ushul-e Falsafeh wa Realism. Ia dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta, Tuhan, di awal-awal kemenangan revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeni, pemimpin spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan hasil dari pendefinisian sesuatu[78] dan membagi ilmu itu menjadi indriawi, imajinasi, dan rasional.[79] Indra juga berperan sebagai sumber ilmu, namun tak mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas lain yang berfungsi sebagai analisator, pengurai, dan penyusun memori yang disebut dengan fakultas akal dan rasional.[80]
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam "pembenaran" itu bersandar kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis tidak akan memiliki pijakan.[81] Dalam pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab dan akibat itu berasal dari hubungan antara jiwa dan iradah. Idenya ini sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan kritikan David Hume dan Immanuel Kant serta ia juga tidak menerima bahwa konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran manusia semata.[82]
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi. Ia sependapat dengan gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan "kesesuaian pengetahuan rasional" dengan objek-objek eksternalnya, karena kalau tak demikian halnya akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme, tertutup ruang pengkajian filsafat, dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.[83]



________________________________________
[1] . Descartes,Taammulât, hal. 4-5.
[2] . Descartes adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan mutlak dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.
[3] . Metode ideal yang ditawarkan oleh Descartes untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:
1. Setiap persoalan sebisa mungkin dianalisa dan dibagi dalam bagian-bagian yang terkecil;
2. Hanya menerima suatu hakikat yang gamblang dan badihi;
3. Mengatur semua pemikiran kita sendiri dan menggabungkan hal-hal yang paling sederhana;
4. Dalam proses pengaturan pemikiran ini, jangan sampai ada yang terlewatkan.
Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal. 167-172.
[4] . Rene Descartes,Taammulât, hal. 35-48.
[5] . Bentuk keraguan Descartes bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Panca indra manusia sangat rentan tertipu;
2. Untuk hal-hal yang sangat jauh dan paling kecil, sangat mungkin panca indra tertipu, tetapi tidak ada keraguan untuk hal-hal yang dekat seperti tangan, badan, dan kaki;
3. Bisa jadi semua yang dialami ini terjadi dalam kondisi tidur;
4. Kita bisa meragukan semuanya, namun kita tidak bisa meragukan matematika;
5. Adalah sangat logis apabila kita meragukan segala sesuatu.
[6] . Ibid, hal. 46-47.
[7] . Ibid, hal. 51-53.
[8] . Ibid, hal, 124-125.
[9] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal. 36-38.
[10] . Ibid, hal. 102-106.
[11] . Buzurg Mehr, Falosefe-ye Tajribi Ingleston, hal. 18.
[12] . Ibid, hal. 32.
[13] . Ibid, hal. 26.
[14] . Ibid, hal. 28.
[15] . Ibid, hal. 65.
[16] . Ibid, hal. 90-94.
[17] . Ibid, hal. 55 dan 56.
[18] . George Berkeley, Risalah dar 'Ilm-e Insani, hal. 12.
[19] . Ibid, hal. 22-24.
[20] . Ibid, hal. 31-38.
[21] . David Hume, Tahqiq dabore-ye fahm-e basyar, hal. 123.
[22] . Ibid, hal. 134-137.
[23] . Ibid, hal. 151-152.
[24] . Ibid, hal. 169-174.
[25] . Frederick Copleston, Filusufon-e Inggliston, hal. 290-291.
[26] . Ibid, hal. 310-313.
[27] . Ibid, hal. 316-321.
[28] . Hisam Muhiddin, Falsafatul Kindi, , hal. 30-46. Dan Muhammad Syarif, Tarikh Falsafe dar Islam, , jilid 1, 6, 8.
[29] . Al-Farabi, al-Jam'u baina Ra'yi al-Hakimain, hal. 98-99.
[30] . Al-Farabi, at-tanabbuh 'ala Sabili as-Sa'adah, hal. 80-82
[31] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, hal. 308.
[32] . Ibid, jilid pertama, hal. 214-215. Dan jilid kedua, hal. 321. Burhan syifa, hal. 220-223.
[33] . Ibnu Sina, asy-syifa, Tabi'iyyat, Nafs, hal. 184-185.
[34] . Ibnu Sina, asy-syifa, Mantiq, Burhan, hal 63. Dan Ta'liqat, hal. 79. An-Najah, hal. 64. Mubahetsat, hal. 20. Al-Isyarat wa at-Tanbihat, hal. 212-215.
[35] . Ibnu Sina, Ta'liqat, hal. 148-161.
[36] . Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, hal. 12-15.
[37] . Ibid, Mihakk an-Nazhar, hal. 90-98.
[38] . Ibid, Mizânul 'Amal, hal13.
[39] . Ibid, Mi'yâr al-Ilm, hal. 66-67.
[40] . Fakhruddin Razi, al-Muhashshal, hal. 84.
[41] . Adalah gambaran pikiran dan perasaan internal tentang sesuatu. Misalnya gambaran pohon yang hadir dalam pikiran kita. Jadi, "yang diketahui secara esensial" itu adalah gambaran pohon yang ada di alam pikiran dan bukan pohon hakiki yang ada di alam eksternal.
[42] . Ibid, al-Mubâhats al-Misyriqiyyah, jilid pertama, hal. 41, 100, 103, 320, 331.
[43] . Ibid, jilid kedua, hal. 350-352.
[44] . Metode rasional menangkap objek secara tidak langsung , yakni penangkapan objek melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya.
[45] . Berbeda dengan metode rasional, metode intuitif menangkap objek secara langsung atau immediate, namun objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa, dan bahagia. Metode observasi (yang berkaitan dengan pengamatan indriawi), pada satu sisi, sama dengan metode intuitif, yakni sama-sama menangkap objeknya secara langsung, namun, objek-objek observasi itu berhubungan dengan objek-objek fisik.
[46] . Syaikh Isyraq, Majmue-ye Mushannafât, jilid pertama, hal. 70-74.
[47] . Ibid, hal. 1, 68, 72, dan 484-487. Dan jilid kedua, hal. 2, 3.
[48] . Pemikiran kaum Skeptis adalah meragukan segala sesuatu atau tidak meyakini setiap hal.
[49] . Yakni mustahil orang menganut sesuatu yang diragukannya, apalagi berdasarkan keraguan atas sesuatu itu, ia menolak dan bahkan menjungkir balikkan pemikiran-pemikiran yang lain.
[50] . Ibid, jlid pertama, hal. 211-212.
[51] . Ibid, jilid kedua, hal. 18
[52] . Ibid, jilid pertama, hal. 133-134. Jilid kedua, hal. 15. Jilid ketiga, hal. 2-3.
[53] . Ibid, jilid kedua, hal. 15 dan jilid ketiga, hal. 2-3.
[54] . Syaikh Thusi, Tajrid al-Mantiq, hal. 10-53. Asâs al-Iqtibâs, hal. 17-345. Talkhish al-Muhashshal, hal. 14 dan 15.
[55] . Seperti, universal lebih besar daripada partikularnya sendiri, kemustahilan penyatuan hal-hal yang saling berlawanan.
[56] . Ibid, Tajrid al-Mantiq, hal. 53.
[57] . Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 278.
[58] . Ibid, Mafâtih al-Ghaib, hal. 108-110.
[59] . Ibid, Tafsir Mulla Sadra, jilid keenam, hal. 282. Mafâtih al-Ghaib, hal. 140.
[60] . Ibid, asy-Syawahid ar-Rububiyyah, hal. 142. Dan Matiq Nuwin, hal. 25.
[61] . Ibid, Asfar, jilid pertama, hal. 207-208. Mafatih al-Ghaib, hal. 140.
[62] . Ibid, al-Mabda wa al-Ma'âd, hal 484. Kasr al-Ashnâm al-Jahiliyyah, hal. 10.
[63] . Ibid, Asfar, jilid pertama, hal. 332, 333.
[64] . Ibid, hal. 335, 338, dan 339.
[65] . Dalam filsafat Islam, salah satu pembagian lain wujud adalah wujud dibagi menjadi wujud di alam pkiran dan wujud di luar pikiran. Perwujudan kuiditas maujud-maujud eksternal di alam pikiran sebagaimana perwujudan hal itu di alam eksternal. Ini merupakan istilah umum mengenai wujud di alam pikiran (untuk penggunaan selanjutnya dalam makalah ini, akan kami singkat menjadi "wujud pikiran").
[66] . Lihat, Asfar, jilid pertama, hal. 76, 263, 327, dan jilid ketiga, hal. 280-309. Al- Masâil al-Quddusiyah, hal. 33-72. Mafâtih al-Ghaib, hal. 101, 102. Risalah at-Tashawwur wa at-Tashdiq, hal. 308. Syarh al-Hidayah, hal. 222.
[67] . Ibid, Risalah at-Tashawwur wa at-Tashdiq, hal. 308.
[68] . Suatu konsep yang memiliki objek luar, yakni di alam eksternal ia memiliki wujud khusus yang walaupun senantiasa bergantung kepada wujud lain, seperti "panas" atau "dingin" dimana masing-masing memiliki wujud tersendiri. Misalnya dikatakan, "panas benda", " panas" ini memiliki wujud khusus yang berbeda dengan benda itu sendiri dimana di alam luar " panas" ini dipredikasikan, diatributkan, dan diaksidenkan dengan benda sehingga membuat benda itu menjadi panas. Seluruh konsep-konsep kuiditas seperti itu, yakni menyatu dengan wujud yang lain dan diaksidenkan kepada subyeknya di alam eksternal.
[69] . Rujuk penjelasan rincinya pada makalah ini di catatan kaki no.14.
[70] . Adalah konsep-konsep yang hanya menjelaskan perkara-perkara pikiran dan tidak bisa dipredikasikan kepada objek-objek eksternal. Seperti konsep universal, partikular, dalil, proposisi, pendefinisi, dan konsep logikal lainnya. Misalnya, universalitas itu bukan sifat bagi satu maujud eksternal dari sisi keeksternalannya. Dengan kata lain, konsep ini hanya memiliki individu di alam pikiran dan tidak memiliki individu luar. Kuiditas manusia ketika hadir dalam pikiran, maka akan menjadi individu bagi konsep logikal universal dan tersifatkan dengan universalitas. Penyifatan ini tidak terjadi ketika berada di alam eksternal. Dengan demikian, konsep-konsep logikal merupakan sifat-sifat bagi konsep-konsep pikiran, bukan perkara eksternal. Ketika konsep ini adalah sifat bagi pikiran, maka predikasinya dengan subyeknya pun niscaya terjadi dalam pikiran.
[71] . Mulla Hadi Sabzawari, Syarh al-Manzumah, al-Ilahiyyat al-Khas, hal. 53
[72] . Muhammad Husain Thabathabai, Ushule Falsafeh wa Realism, hal. 41. Perlu diketahui bahwa kitab ini merupakan karya khusus almarhum yang membahas epistemologi.
[73] . Ibid, hal. 36, dan 37-60. Nihayah al-Hikmah, hal. 237, dan 259-260.
[74] . Salah satu dari fakultas dan indra batin.
[75] . Ibid, Burhan, 136,138, dan 140. Ushul-e Falsafeh wa realism, hal. 60.
[76] . Ibid, Ushul-e Falsafeh wa realism, hal. 67-171.
[77] .Ibid, Burhan, 136, 137, dan 138. Nihayah al-Hikmah, hal. 2-252. Tafsir al-Mizan, jilid kelima, hal. 254-271. Ushul-e Falsafeh wa Realism, hal. 11, 15, 46, 47, 68, 69, 79, 82, 101, 156, dan 164.
[78] . Yang dimaksud adalah ilmu hushûlî.
[79] . Murtadha Muthahhari, Osynôy-e bo 'Ulum-e Islam wa Mantiq, hal. 29. Masale-ye Syenôkh, hal. 98-109. Pôwaraqi Asfar, jilid pertama, hal. 45-55.
[80] . Ibid, Masale-ye Syenôkh, hal. 38-42.
[81] . Ibid, Powaraqi Ushul-e Falsafeh, jilid kedua, hal. 16. 17.
[82] . Ibid, hal. 62.
[83] . Ibid, jilid pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.

Tidak ada komentar: