Senin, 31 Oktober 2011

TUGAS UTS KOMUNIKASI PENDIDIKAN

Jawablah dengan singkat dan jelas*.
1. Sebutkan siapa saja komunikator dalam bidang pendidikan dan berikan alasan dan argumentasi yang kuat.
2. berikan contoh komunikasi yang respektif dalam bentuk sms, antara dosen dan mahasiswa untuk kepentingan:
a. izin tidak masuk kuliah
b. bertanya tentang jadual dan matakuliah
c. bimbingan proposal, skripsi atau tesis.
3. Jika anda menjadi guru strategi apa yang diterapkan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan para siswa yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda?

* dikumpulkan pada minggu kedua bulan November 2011.
jawaban yang sama akan dianulir.

Sabtu, 01 Oktober 2011

FILSAFAT MODERN

Filsafat modern dimulai pada zaman Rene Descartes (1596-1650 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M). Akan tetapi, peran dominan Descartes lebih tampak karena berupaya mengembangkan aspek-aspek epistemologi dalam era baru filsafat Barat.
Ruang pemikiran dimana Descartes hidup sangat berperan dalam mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa aspek yang mempengaruhi pikiran-pikirannya:
1. Lahirnya penemuan-penemuan baru ilmiah yang dimotori oleh Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo;
2. Penciptaan teleskop yang berefek pada penolakan beberapa asumsi-asumsi yang tidak benar pada masa lalu;
3. Penemuan benua Amerika dan perubahan teori terhadap bentuk bumi;
4. Direbutnya ibukota Yunani dan dikenalnya budaya ilmiah kaum muslimin oleh Eropa;
5. Dibentuknya mazhab baru Protestan oleh Martin Luther (1483 – 1546 M) dan berkurangnya kekuasaan gereja;
6. Lahirnya teolog baru seperti Francis Bacon dan bangkitnya aliran baru melawan pemikir-pemikir lama yang diiringi oleh penolakan filsafat Aristoteles;
7. Munculnya beberapa pandangan yang menolak secara mutlak pemikiran filsafat yang kemudian berujung pada Skeptisisme yang dipelopori oleh Francisco Sanches (1551-1623 M).[1]
Walhasil, faktor-faktor yang disebutkan di atas dan beberapa faktor lain yang tidak disebutkan, saling berpengaruh satu sama lain yang kemudian mengerucut pada kemunculan dimensi-dimensi keraguan terhadap agama, etika, dan keyakinan yang ekstrim atas ilmu-ilmu empirik. Semua kenyataan ini, menjadikan epistemologi sebagai pokok pembahasan tersendiri dalam era baru filsafat Barat.

1. Rene Descartes (1596-1650 M)[2]
Persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:

1. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
2. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
3. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
4. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?[3]
Descartes menjadikan hal yang tergamblang, penggabungan, analisa, dan keraguan segala sesuatu dalam mencapai pengetahuan pertama sebagai metode sempurna dalam menggapai pengetahuan-pengetahuan selanjutnya.
Dalam tingkatan keraguan, pertama-tama meragukan segala yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa kita dalam kondisi tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh setan. Intinya, kita mesti meragukan apa yang diyakini dan harus sampai pada puncak keraguan. Setelah mencapai puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan pengetahuan pertama, dan terus mencari ilmu secara bertahap dengan pengetahuan pertama tersebut.[4][5]
Tahapan kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada tahapan ini, Descartes berkata, "Saya ragu pada setiap sesuatu, namu saya tidak bisa meragukan keraguan saya itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri dan dikarenakan keberadaan keraguan ini, saya sampai pada suatu keyakinan terhadap eksistensi peragu.[6]
Menurut Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah kegamblangan dan keterpisahan, yakni setiap perkara seperti keraguan, sedemikian gamblang dan terpisah satu dengan lainnya sehingga tidak bisa diragukan lagi, inilah pengetahuan hakiki.[7]
Keyakinan terhadap persepsi fitrah juga merupakan gagasan penting dalam filsafat Descartes. Konsep-konsep fitrah seperti, Tuhan, waktu, jiwa, dan benda, yakni perkara-perkara yang secara potensial terdapat dalam jiwa yang kemudian mengaktual secara evolutif. Iasangat menekankan aspek-aspek epistemologi dan meyakini kesesuaian gambaran pikiran dan realitas eksternal.[8]

2. Benedict de Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza sepakat terhadap tolok ukur "kegamblangan" dan "keterpisahan" yang diajukan oleh Descartes itu dan memandang bahwa pikiran dan realitas eksternal adalah satu. Tentang persoalan hakikat, iamengajukan adanya keharmonisan dan keberaturan, yakni suatu hukum hanya akan benar jika seirama dan harmonis dengan sistem keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal.
Ia kemudian membagi pengetahuan-pengetahuan itu ke dalam pengetahuan indriawi dan intuitif (syuhud). Pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan mesti dimulai dari Tuhan.[9]

3. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)
Leibniz beranggapan bahwa dalam setiap hukum yang benar, predikatnya terdapat dalam subyek. Ia merupakan orang pertama yang membedakan antara pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan eksternal. Dan memandang bahwa pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-kontradiksi, yakni penolakan atas kaidah ini akan berujung pada kontadiksi itu sendiri. Sebagaimana Descartes, iapercaya pada konsep-konsep fitrah.[10]

4. Para Filosof Empiris Inggris
Kaum empiris menolak konsep-konsep fitrah yang diyakini oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Kaum ini lebih menekankan konsep-konsep yang bersumber dari indra lahir dan empirisitas.
Filosof empirik memiliki kecenderungan yang berbeda, karena keragaman persepsi-persepsi dan indra-indra. Berkaitan dengan dimensi persepsi, sebagian mereka menekankan empirisitas pada konsepsi dan keyakinan, dan sebagian lain hanya pada konsepsi. Sementara yang berhubungan dengan indra, sebagian hanya meyakini indra lahir, dan yang lainnya berpegang pada kedua indra, yaitu indra lahir dan indra batin. Hasil-hasil pemikiran dari kelompok ini niscaya akan berbeda satu sama lain.

5. John Locke (1632-1704 M)
John Locke beranggapan bahwa sebelum memulai kajian dan pembahasan lainnya, sangat penting membahas tentang kodrat dan kemampuan akal untuk sampai pada pengetahuan, penetapan batas-batas akal, dan sumber-sumber makrifat dan keyakinan,. Iamenekankan analisa dan pengujian atas sejarah, dan empirisitas dalam pandangannya meliputi hal-hal yang lahiriah dan batiniah.[11]
John Locke tidak mengingkari potensi manusia yang berkaitan dengan semua pengetahuan, namun menolak keberadaan konsep-konsep aktual yang terdapat dalam jiwa dan pikiran.[12]
Menurutnya, indra lahir dan batin merupakan sumber semua pengetahuan dan menolak sumber pengetahuan lainnya, seperti intuisi rasional. Iaberkeyakinan bahwa seluruh bahan persepsi dan pemikiran diperoleh dari hal-hal indriawi dan observasi empiris dengan perantaraan panca indra lahir di alam luar serta di alam batin dengan menggunakan indra batin. Konsep-konsep ialah perantara antara pikiran dan realitas eksternal, dan sebagian dari konsep-konsep berhubungan dengan perasaan manusia.[13]
John Locke membagi konsep-konsep itu menjadi tunggal dan jamak, universal dan partikular, satu indra dan banyak indra, substansi, hubungan, dan keadaan. Iajuga menerima keberadaan substansi untuk menerima aksiden-aksiden.[14]
Ia menerima konsep-konsep universal dan abstrak, konsep ini bebas dari pengaruh waktu, tempat, dan partikular. Walaupun pemikiran-pemikirannya ini memiliki banyak penafsiran.[15] Baginya, pengenalan itu terbagi atas intuisi, argumentasi akal, dan indriawi. Pengenalan intuisi lebih tinggi dari akal dan akal lebih tinggi dari indra lahir. Pengetahuan terhdap diri sendiri ialah bersifat intuisi, ilmu terhadap Tuhan dicapai lewat argumentasi akal, dan ilmu tentang alam eksternal dicapai lewat panca indra lahir.[16]
Dalam pembahasan kausalitas, ia lantas membedakan antara konsep "sebab" dan konsep "akibat" dengan prinsip "kausalitas" (setiap akibat bergantung pada sebab). Konsep tentang sebab dan akibat itu dihasilkan lewat pengamatan internal dan perhatian atas kinerja iradah, dan "pembenaran (penghukuman)" itu diperoleh dari pengaruh timbal balik antara maujud-maujud, yakni pikiran meraih konsep "sebab" dan "akibat" dari pengamatan internal hubungan antara jiwa dan iradah, maka hubungan konsep-konsep itu satu sama lain akan tercipta setelah mereka diletakkan secara sejajar dalam pikiran kita, dan karena gamblangnya masalah itu, akal kemudian menghukumi dan membenarkan hubungan tersebut.[17]
John locke nampaknya seorang empiris yang moderat, karena iatidak menolak akal dan ilmu-ilmu hudhûrî. Dengan alasan ini, banyak aspek positif dalam pemikirannya, walaupun solusi yang ditawarkan dan penjelasannya masih belum sempurna.

6. George Berkeley (1685-1753 M)
Berkeley beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat. Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil. Sebagai contoh, konsep yang abstrak mengenai gerak yang lepas dari benda bergerak dimana gerak itu tidak cepat, tidak lambat, tidak berotasi, dan tidak lurus adalah hal yang mustahil, begitu pula mengkonsep segitiga yang tak bersudut.
Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara khayal, gambaran partikular, dan konsep-konsep universal, yakni adalah sangat jelas bahwa mustahil mengambil gambaran segitiga selain dari segitiga sama sisi, sama kaki, atau siku-siku. Konsep dan makna universal segitiga bukanlah gambaran segitiga tersebut. Dan menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek eksternal, konsep-konsep partikular, dan kata-kata umum yang tidak menunjuk pada sifat-sifat khusus sesuatu.[18]
Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep itu. Jadi tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep yang terlepas dari segala karakteristik dan partikularitas.
Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, "benda tertentu berwujud", maka yang dimaksud ialah, "saya memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi benda itu". Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil, diantaranya bahwa iatidak membedakan antara kualitas pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca: gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini semuanya berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai dengan persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.[19]
Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran konsep-konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang non-materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah suatu akibat (ma'lul) dan penyebabnya ('illat) adalah suatu maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak membutuhkan lagi keberadaan maujud-maujud materi sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut.[20]
Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep universal, tak ada alasan lagi menerima prinsip kausalitas. Pada hakikatnya, Berkeley hanya sebatas meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular, perubahan, dan kehadiran baru konsep-konsep indriawi dan imajinasi, dikarenakan kaidah kesesuaian sebab dan akibat, maka iajuga menuntut sebab-sebab yang sesuai dan setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-sebab yang juga senantiasa berubah dan baru tercipta seperti materi itu.
Walhasil, George Berkeley menafikan dan meragukan adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud materi, namun iamenerima eksistensi jiwa manusia dan Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia dipandang sebagai penyebab konsep-konsep khayali.

7. David Hume (1711-1776 M)
David Hume beranggapan pentingnya pembahasan mengenai proses pemahaman manusia. Ia membagi persepsi itu menjadi "konsepsi" (pemahaman, pengertian at-tashawwur) dan "impresi" (kesan, al-inthibâ'). Impresi ialah efek, kesan, atau pengaruh yang sangat dalam terhadap pikiran yang hadir secara visual (melalui mata). Sementara, konsepsi adalah persepsi yang sangat lemah yang hadir di alam pikiran ketika berpikir tentang suatu perkara.[21]
Ia juga sebagaimana John Locke yang memandang sumber segala pengetahuan manusia itu adalah empiris dan impresif. Dan ia menegaskan bahwa apabila setiap konsep itu berpijak dan bersesuaian dengan impresi, maka konsep itu dikatakan bermakna, dan jika tidak demikian, maka ia tidaklah menjadi bermakna.
Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah hubungan antara maujud-maujud dan perkara-perkara hakiki, sementara matematika itu adalah hubungan antara konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan sebagai hal-hal yang pasti dan niscaya. Dan menolak hal ini akan berujung pada kontradiksi. Namun, berbeda dengan hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara hakiki yang tidak memiliki dua kemestian dan kepastian tersebut.[22]
Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara eksternal dan hakiki dengan metode hubungan kausalitas, oleh karena itu, ia berupaya mengkaji dan menganalisa hubungan kausalitas itu. Akan tetapi, kausalitas itu ia pandang sebagai suatu "kebiasaan" dan "tradisi" pikiran, puncak analisanya ini adalah menafikan hubungan kausalitas itu dan tak ada jalan mengenal alam eksternal. Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar pikiran dan jiwa manusia adalah hal yang mesti diragukan keberadaannya.[23] Sesungguhnya, kemestian berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahir (Sensisme) pada wilayah konsepsi dan pembenaran (at-tashdiq) adalah akan berpuncak pada keraguan dan skeptisisme.
Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab dan akibat ialah bahwa panca indra lahir tak bisa mencerapnya.[24]
Apabila Hume memperhatikan poin penting dalam pandangan John Locke, maka mustahil ia menekankan analisanya yang keliru tentang kausalitas itu, karena sebagaimana yang dungkapkan oleh Locke dengan mudah akan dipahami hakikat 'sebab' dan 'akibat' itu dalam diri kita sendiri, yakni konsep 'sebab' dan 'akibat' tersebut terabstraksi dari kondisi internal manusia (konsep ini berasal dari hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah dimana jiwa sebagai 'sebab' iradah dan iradah 'akibat' dari jiwa).
David Hume sebagaimana Berkeley , menolak konsep-konsep universal itu dengan mengungkapkan beberapa argumen. Salah satu argumennya adalah dimensi partikularitas setiap sesuatu dan keberadaan impresi di alam pikiran.[25] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hume tidak menganalisa persoalan kausalitas itu dengan cermat dan teliti, dan bahkan ia cenderung mencampurnya dengan persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami dua dimensi yang terdapat dalam konsep-konsep universal yaitu dimensi (yakni keberadaan aktual dan partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni penghikayatan dan percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep universal itu bisa mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep universal manusia yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).
Hume juga menolak atau meragukan keberadaan substansi-substansi bendawi, hal ini karena kita tidak merasakan dan memahami sesuatu yang lain (yang berada di luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan persepsi itu sendiri (karena berada dalam pikiran kita), disamping itu, tidak ada argumentasi rasional akan eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan perbedaan antara kualitas pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca: gambaran benda luar dalam pikiran).[26]
Konklusi pemikiran Hume seperti di atas tidak lain karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan demikian, tak ada jalan baginya untuk membuktikan alam eksternal dan maujud hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia itu tidak memandang selain persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi manusia, tidak ada suatu maujud lain yang tunggal dan kekal yang dinamai "aku" yang bisa dicerap dan diketahuinya.[27]
Namun, dengan memperhatikan penyandaran segala persepsi terhadap "aku" dan perbandingan serta hubungan antara proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan dan kondisi jiwa yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan eksistensi "jiwa" sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.

Epistemologi dalam Filsafat Islam
Nampaknya, epistemologi bukan hal yang dikhawatirkan oleh para filosof muslim. Epistemologi bukan sebagai kajian utama dan inti dalam filsafat Islam. Persoalan-persoalan mendasar yang hadir dalam epistemologi secara implisit telah diulas dan dikaji di sela-sela pembahasan filsafat Islam. Karena itu, disepanjang evolusi pemikiran filsafat Islam tidak akan dijumpai satu karya yang secara terpisah membahas persoalan epistemologi. Akan tetapi, karena persoalan epistemologi sedemikian membengkaknya, para filosof Islam kontemporer menganggap urgen untuk mengkajinya secara mandiri dan terperinci serta memisahkan dari pembahasan filsafat.

1. Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia melihat bahwa penalaran akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber pengetahun. Akal bertujuan untuk mempersepsi hal-hal universal dan realitas non-fisik, sementara panca indra yang berhubungan dengan perkara-perkara partikular dan benda-benda fisik. Ia beranggapan bahwa akal dan panca indra itu sebagai persepsi-persepsi yang nyata dan tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki kemampuan untuk mengungkap, menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.[28]

2. Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan adalah penalaran akal dan pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan tahapan awal bagi lahirnya penalaran-penalaran rasional.[29] Ia membagi ilmu itu menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana proses hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap keyakinannya pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal dan mendefinisikannya sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup individu-individu eksternal yang banyak.[30]

3. Abu Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak menguraikan persoalan yang terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu kajian pentingnya adalah pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu ialah penggambaran sesuatu oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman hakikat sesuatu dan penggambaran bentuk sesuatu.[31]
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan indra. Dan membagi indra itu menjadi indra lahir dan indra batin, serta menempatkan indra itu sebagai sumber awal pengetahuan.[32] Persepsi atas konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia[33]. Pengetahuan manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap bahwa hal-hal yang gamblang (badihi, tak butuh pada argumentasi) itu bersifat yakini dan bersesuaian dengan kenyataan luar[34]. pengetahuan tentang eksistensi jiwa itu adalah bersifat hudhûrî (lawan dari hushûlî) dan menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua kondisi jiwa.[35]

4. Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma'lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek luar itu sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu itu adalah emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan pernah bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu.[36]
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-'irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal[37]. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan argumentasi-argumentasinya.[38]
Tentang konsep-konsep universal, ia memiliki dua pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi yang dianut oleh kaum Peripatetik tentang universal (yakni universal itu bisa mencakup individu yang banyak) dan gagasan keduanya ialah bahwa universal itu sama dengan dengan khayal dan imajinasi partikular.[39]

5. Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.[40]
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara 'âlim (yang mengetahui) dengan ma'lum bidz-dzat[41] (pengetahuan esensial).[42] Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.[43]

6. Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif dengan akal (burhân, demonstrative proof)[44] dan metode intuitif ('irfâni, gnosis)[45] merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan hakiki.[46]
Akal dan indra itu dipandang olehnya sebagai alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî. Ilmu terhadap diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî.[47]
Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: "Apakah pemikiran[48] mereka itu sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah kekeliruan? Atau mereka juga meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka katakan bahwa pemikiran mereka itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya kebenaran sejati dan pengetahuan hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap pemikiran mereka itu adalah batil, maka ini berarti bahwa mereka menafikan pemikiran mereka sendiri. Dan untuk soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga ragu pada keraguan mereka atau yakin padanya? Jika mereka memiliki keyakinan atasnya, maka mereka percaya terhadap wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka ragu atasnya, maka seluruh perkataan mereka sama sekali tidak berguna[49] dan sebaiknya kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan mereka sendiri."[50] Mengenai hal-hal yang gamblang dan badihi itu, ia menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.[51]
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik diperoleh secara langsung dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud non-materi dicapai dengan intuisi (hudhûrî). Dalam keadaan maujud-maujud itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra kita, maka yang hadir di alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian gambaran itu dengan objek-objek eksternal.[52] Argumentasinya ialah: Jika kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di alam pikiran kita atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini adalah batal, karena seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan keadaan pasca berilmu, sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam diri kita. Dan apabila sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu), namun, tidak sesuai dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ilmu terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan kita terhadap segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.[53]

7. Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang itu sebagai pengetahuan pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat dan sumber pengetahuan manusia.[54] Ada tingkatan dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât) itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât)[55] dan benda-benda fisik (al-mahsûsât) merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.[56]

8. Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya, mustahil mendefinisikan ilmu itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada ilmu yang dengannya ia terdefinisikan.[57] Ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke dalam ilmu hudhûrî.[58]Dalam pandangannya, keyakinan itu memiliki tingkatan, tingkatan pertama ialah 'ilm al-yaqîn (argumen rasional), 'ain al-yaqîn (intuisi 'irfani), dan haqq al-yaqîn (kesatuan wujud).[59] Mengenai konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan gagasan kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya sebagai "penyaksian (al-musyâhadah) intuitif maujud-maujud non-materi".[60]
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang sesuai dengan objek-objek eksternal.[61] Dan pada hakikatnya, akal bisa mengetahui hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia berpotensi menerima manisfestasi dan tajalli seluruh hakikat luar.[62]
Mulla Sadra membagi konsep-konsep universal itu menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis, logikal. Konsep-konsep filosofis dan logikal itu disebut sebagai "kategori kedua yang dicerap oleh akal" (secondary intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa konsep-konsep kedua filosofis (philosophical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek eksternal dan sementara konsep-konsep kedua logikal (logical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek dalam pikiran.[63] Apakah konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau majasi? Ia menyatakan bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari tingkatan-tingkatan wujud eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran dan pengungkapannya pun akan lemah dan berada pada batas "kemungkinan" untuk dicerap oleh akal. Dan begitu pula sebaliknya, suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan dan pancaran wujudnya pun akan semakin kuat dan berada pada batas "kemestian" untuk bisa diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas "kemungkinan" dan "kemestian" untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat eksistensi.[64]
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah mengenai wujud pikiran.[65] Materi ini ia jelaskan secara terperinci.[66] Dalam kajian tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas objek pikiran dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian sehingga tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi dan burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, "Ketika kita meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu, pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan objek eksternalnya.[67]

9. Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277 H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma yang merupakan pijakan utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud pikiran tidak berbeda dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan tentang philosophical and logical secondary intelligibles, ia menjelaskannya secara khusus:
1. Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek eksternal dan juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal. Masing-masing konsep itu mempunyai objek abstrasi tersendiri[68]
2. Konsep-konsep filosofis adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek di alam eksternal, akan tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di alam pikiran. Di alam luar tidak akan ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi perbedaan itu hanya ada di alam pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi pada satu objek eksternal.[69]
3. Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari konsep-konsep kuiditas yakni suatu sifat khusus bagi perkara-perkara di alam pikiran (subjektivitas) dan dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam pikiran. Konsep ini tidak berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal (objektivitas) dan tidak menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari objek-objek luar. Konsep-konsep ini adalah sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara pikiran semata.[70]

Ia juga beranggapan bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu berbanding lurus dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu berdasarkan asumsi yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah ketiadaan, terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar, atau memiliki bentuk-bentuk eksistensi yang lain.[71] Gagasannya ini merupakan poin penting dalam pembahasan epistemologi.

10. Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan epistemologi sebagai disiplin ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di alamatkan kepada epistemologi, ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan jawabannya yang akurat serta membahas poin-poin penting epistemologi. Ia sepakat dengan filosof-filosof sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan pengamatan indriawi sebagai alat dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian epistemologinya adalah bahwa ia bersandar pada ilmu hushûlî dan mengembalikan semua ilmu hushûlî itu kepada ilmu hudhûrî. Ia menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi ilmu adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal.[72] Dikarenakan ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan. Dengan kata lain, ilmu hudhûrî secara langsung menangkap objek-objek eksternal.[73]
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat dan sumber pengetahuan manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra batiniah atau konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap bersumber dari indra batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra lahir seperti mendengar, melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan melihat itu misalnya merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas penglihatan (al-quwwah al-bâshirah)[74] dan kita mendapatkan gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa, bukan dari penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu. Penglihatan mata itu akan menghasilkan reaksi khusus fakultas jiwa dan segala gambaran dan konsep pikiran yang dicerap dari fakultas tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan esensial (ma'lum bidz- dzat, essential known).[75] Dari hal ini, menurutnya, objek-objek eksternal pada hakikatnya adalah pengetahuan aksidental (ma'lum bil 'aradh, accidental known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak dipaparkan oleh para filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi konsep-konsep filosofis seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden, wujud, tiada, dan lain-lain. Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada prinsipnya, perspektif seperti ini sekaligus merupakan jawaban atas keraguan David Hume dan Immanuel Kant yang menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat, dan sejenisnya dan menganggap segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran semata, hal ini karena, menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap langsung oleh indra lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa apabila suatu konsep yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas dikategorikan sebagai konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan khayalan semata.[76]
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam sebelumnya yang memandang hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu yang melandasi pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan dengan keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya senada dengan Syaikh Isyraq.[77]

11. Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis tafsir atas karya gurunya sendiri, Ushul-e Falsafeh wa Realism. Ia dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta, Tuhan, di awal-awal kemenangan revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeni, pemimpin spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan hasil dari pendefinisian sesuatu[78] dan membagi ilmu itu menjadi indriawi, imajinasi, dan rasional.[79] Indra juga berperan sebagai sumber ilmu, namun tak mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas lain yang berfungsi sebagai analisator, pengurai, dan penyusun memori yang disebut dengan fakultas akal dan rasional.[80]
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam "pembenaran" itu bersandar kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis tidak akan memiliki pijakan.[81] Dalam pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab dan akibat itu berasal dari hubungan antara jiwa dan iradah. Idenya ini sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan kritikan David Hume dan Immanuel Kant serta ia juga tidak menerima bahwa konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran manusia semata.[82]
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi. Ia sependapat dengan gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan "kesesuaian pengetahuan rasional" dengan objek-objek eksternalnya, karena kalau tak demikian halnya akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme, tertutup ruang pengkajian filsafat, dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.[83]



________________________________________
[1] . Descartes,Taammulât, hal. 4-5.
[2] . Descartes adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan mutlak dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.
[3] . Metode ideal yang ditawarkan oleh Descartes untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:
1. Setiap persoalan sebisa mungkin dianalisa dan dibagi dalam bagian-bagian yang terkecil;
2. Hanya menerima suatu hakikat yang gamblang dan badihi;
3. Mengatur semua pemikiran kita sendiri dan menggabungkan hal-hal yang paling sederhana;
4. Dalam proses pengaturan pemikiran ini, jangan sampai ada yang terlewatkan.
Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal. 167-172.
[4] . Rene Descartes,Taammulât, hal. 35-48.
[5] . Bentuk keraguan Descartes bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Panca indra manusia sangat rentan tertipu;
2. Untuk hal-hal yang sangat jauh dan paling kecil, sangat mungkin panca indra tertipu, tetapi tidak ada keraguan untuk hal-hal yang dekat seperti tangan, badan, dan kaki;
3. Bisa jadi semua yang dialami ini terjadi dalam kondisi tidur;
4. Kita bisa meragukan semuanya, namun kita tidak bisa meragukan matematika;
5. Adalah sangat logis apabila kita meragukan segala sesuatu.
[6] . Ibid, hal. 46-47.
[7] . Ibid, hal. 51-53.
[8] . Ibid, hal, 124-125.
[9] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal. 36-38.
[10] . Ibid, hal. 102-106.
[11] . Buzurg Mehr, Falosefe-ye Tajribi Ingleston, hal. 18.
[12] . Ibid, hal. 32.
[13] . Ibid, hal. 26.
[14] . Ibid, hal. 28.
[15] . Ibid, hal. 65.
[16] . Ibid, hal. 90-94.
[17] . Ibid, hal. 55 dan 56.
[18] . George Berkeley, Risalah dar 'Ilm-e Insani, hal. 12.
[19] . Ibid, hal. 22-24.
[20] . Ibid, hal. 31-38.
[21] . David Hume, Tahqiq dabore-ye fahm-e basyar, hal. 123.
[22] . Ibid, hal. 134-137.
[23] . Ibid, hal. 151-152.
[24] . Ibid, hal. 169-174.
[25] . Frederick Copleston, Filusufon-e Inggliston, hal. 290-291.
[26] . Ibid, hal. 310-313.
[27] . Ibid, hal. 316-321.
[28] . Hisam Muhiddin, Falsafatul Kindi, , hal. 30-46. Dan Muhammad Syarif, Tarikh Falsafe dar Islam, , jilid 1, 6, 8.
[29] . Al-Farabi, al-Jam'u baina Ra'yi al-Hakimain, hal. 98-99.
[30] . Al-Farabi, at-tanabbuh 'ala Sabili as-Sa'adah, hal. 80-82
[31] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, hal. 308.
[32] . Ibid, jilid pertama, hal. 214-215. Dan jilid kedua, hal. 321. Burhan syifa, hal. 220-223.
[33] . Ibnu Sina, asy-syifa, Tabi'iyyat, Nafs, hal. 184-185.
[34] . Ibnu Sina, asy-syifa, Mantiq, Burhan, hal 63. Dan Ta'liqat, hal. 79. An-Najah, hal. 64. Mubahetsat, hal. 20. Al-Isyarat wa at-Tanbihat, hal. 212-215.
[35] . Ibnu Sina, Ta'liqat, hal. 148-161.
[36] . Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, hal. 12-15.
[37] . Ibid, Mihakk an-Nazhar, hal. 90-98.
[38] . Ibid, Mizânul 'Amal, hal13.
[39] . Ibid, Mi'yâr al-Ilm, hal. 66-67.
[40] . Fakhruddin Razi, al-Muhashshal, hal. 84.
[41] . Adalah gambaran pikiran dan perasaan internal tentang sesuatu. Misalnya gambaran pohon yang hadir dalam pikiran kita. Jadi, "yang diketahui secara esensial" itu adalah gambaran pohon yang ada di alam pikiran dan bukan pohon hakiki yang ada di alam eksternal.
[42] . Ibid, al-Mubâhats al-Misyriqiyyah, jilid pertama, hal. 41, 100, 103, 320, 331.
[43] . Ibid, jilid kedua, hal. 350-352.
[44] . Metode rasional menangkap objek secara tidak langsung , yakni penangkapan objek melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya.
[45] . Berbeda dengan metode rasional, metode intuitif menangkap objek secara langsung atau immediate, namun objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa, dan bahagia. Metode observasi (yang berkaitan dengan pengamatan indriawi), pada satu sisi, sama dengan metode intuitif, yakni sama-sama menangkap objeknya secara langsung, namun, objek-objek observasi itu berhubungan dengan objek-objek fisik.
[46] . Syaikh Isyraq, Majmue-ye Mushannafât, jilid pertama, hal. 70-74.
[47] . Ibid, hal. 1, 68, 72, dan 484-487. Dan jilid kedua, hal. 2, 3.
[48] . Pemikiran kaum Skeptis adalah meragukan segala sesuatu atau tidak meyakini setiap hal.
[49] . Yakni mustahil orang menganut sesuatu yang diragukannya, apalagi berdasarkan keraguan atas sesuatu itu, ia menolak dan bahkan menjungkir balikkan pemikiran-pemikiran yang lain.
[50] . Ibid, jlid pertama, hal. 211-212.
[51] . Ibid, jilid kedua, hal. 18
[52] . Ibid, jilid pertama, hal. 133-134. Jilid kedua, hal. 15. Jilid ketiga, hal. 2-3.
[53] . Ibid, jilid kedua, hal. 15 dan jilid ketiga, hal. 2-3.
[54] . Syaikh Thusi, Tajrid al-Mantiq, hal. 10-53. Asâs al-Iqtibâs, hal. 17-345. Talkhish al-Muhashshal, hal. 14 dan 15.
[55] . Seperti, universal lebih besar daripada partikularnya sendiri, kemustahilan penyatuan hal-hal yang saling berlawanan.
[56] . Ibid, Tajrid al-Mantiq, hal. 53.
[57] . Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 278.
[58] . Ibid, Mafâtih al-Ghaib, hal. 108-110.
[59] . Ibid, Tafsir Mulla Sadra, jilid keenam, hal. 282. Mafâtih al-Ghaib, hal. 140.
[60] . Ibid, asy-Syawahid ar-Rububiyyah, hal. 142. Dan Matiq Nuwin, hal. 25.
[61] . Ibid, Asfar, jilid pertama, hal. 207-208. Mafatih al-Ghaib, hal. 140.
[62] . Ibid, al-Mabda wa al-Ma'âd, hal 484. Kasr al-Ashnâm al-Jahiliyyah, hal. 10.
[63] . Ibid, Asfar, jilid pertama, hal. 332, 333.
[64] . Ibid, hal. 335, 338, dan 339.
[65] . Dalam filsafat Islam, salah satu pembagian lain wujud adalah wujud dibagi menjadi wujud di alam pkiran dan wujud di luar pikiran. Perwujudan kuiditas maujud-maujud eksternal di alam pikiran sebagaimana perwujudan hal itu di alam eksternal. Ini merupakan istilah umum mengenai wujud di alam pikiran (untuk penggunaan selanjutnya dalam makalah ini, akan kami singkat menjadi "wujud pikiran").
[66] . Lihat, Asfar, jilid pertama, hal. 76, 263, 327, dan jilid ketiga, hal. 280-309. Al- Masâil al-Quddusiyah, hal. 33-72. Mafâtih al-Ghaib, hal. 101, 102. Risalah at-Tashawwur wa at-Tashdiq, hal. 308. Syarh al-Hidayah, hal. 222.
[67] . Ibid, Risalah at-Tashawwur wa at-Tashdiq, hal. 308.
[68] . Suatu konsep yang memiliki objek luar, yakni di alam eksternal ia memiliki wujud khusus yang walaupun senantiasa bergantung kepada wujud lain, seperti "panas" atau "dingin" dimana masing-masing memiliki wujud tersendiri. Misalnya dikatakan, "panas benda", " panas" ini memiliki wujud khusus yang berbeda dengan benda itu sendiri dimana di alam luar " panas" ini dipredikasikan, diatributkan, dan diaksidenkan dengan benda sehingga membuat benda itu menjadi panas. Seluruh konsep-konsep kuiditas seperti itu, yakni menyatu dengan wujud yang lain dan diaksidenkan kepada subyeknya di alam eksternal.
[69] . Rujuk penjelasan rincinya pada makalah ini di catatan kaki no.14.
[70] . Adalah konsep-konsep yang hanya menjelaskan perkara-perkara pikiran dan tidak bisa dipredikasikan kepada objek-objek eksternal. Seperti konsep universal, partikular, dalil, proposisi, pendefinisi, dan konsep logikal lainnya. Misalnya, universalitas itu bukan sifat bagi satu maujud eksternal dari sisi keeksternalannya. Dengan kata lain, konsep ini hanya memiliki individu di alam pikiran dan tidak memiliki individu luar. Kuiditas manusia ketika hadir dalam pikiran, maka akan menjadi individu bagi konsep logikal universal dan tersifatkan dengan universalitas. Penyifatan ini tidak terjadi ketika berada di alam eksternal. Dengan demikian, konsep-konsep logikal merupakan sifat-sifat bagi konsep-konsep pikiran, bukan perkara eksternal. Ketika konsep ini adalah sifat bagi pikiran, maka predikasinya dengan subyeknya pun niscaya terjadi dalam pikiran.
[71] . Mulla Hadi Sabzawari, Syarh al-Manzumah, al-Ilahiyyat al-Khas, hal. 53
[72] . Muhammad Husain Thabathabai, Ushule Falsafeh wa Realism, hal. 41. Perlu diketahui bahwa kitab ini merupakan karya khusus almarhum yang membahas epistemologi.
[73] . Ibid, hal. 36, dan 37-60. Nihayah al-Hikmah, hal. 237, dan 259-260.
[74] . Salah satu dari fakultas dan indra batin.
[75] . Ibid, Burhan, 136,138, dan 140. Ushul-e Falsafeh wa realism, hal. 60.
[76] . Ibid, Ushul-e Falsafeh wa realism, hal. 67-171.
[77] .Ibid, Burhan, 136, 137, dan 138. Nihayah al-Hikmah, hal. 2-252. Tafsir al-Mizan, jilid kelima, hal. 254-271. Ushul-e Falsafeh wa Realism, hal. 11, 15, 46, 47, 68, 69, 79, 82, 101, 156, dan 164.
[78] . Yang dimaksud adalah ilmu hushûlî.
[79] . Murtadha Muthahhari, Osynôy-e bo 'Ulum-e Islam wa Mantiq, hal. 29. Masale-ye Syenôkh, hal. 98-109. Pôwaraqi Asfar, jilid pertama, hal. 45-55.
[80] . Ibid, Masale-ye Syenôkh, hal. 38-42.
[81] . Ibid, Powaraqi Ushul-e Falsafeh, jilid kedua, hal. 16. 17.
[82] . Ibid, hal. 62.
[83] . Ibid, jilid pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.

Rabu, 27 Oktober 2010

TUGAS LIBRARY DISCUSSION

KOMUNIKASI PENDIDIKAN
1. SIAPA KOMUNIKATOR PENDIDIKAN ISLAM?
2. JELASKAN RUANG LINGKUP KOMUNIKASI PENDIDIKAN!
3. APA FAKTOR YANG MENDUKUNG DAN MENGHAMBAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN DAN BERIKAN SATU CONTOH?
4. APA PERBEDAAN ANTAR KOMUNIKASI PENDIDIKAN DAN KOMUNIKASI PEMBELAJARAN?
5. BERIKAN CONTOH KOMUNIKASI YANG EFEKTIF!

KOMUNIKASI PENDIDIKAN

KOMUNIKASI PENDIDIKAN
(Upaya Mengefektifkan Sistem Informasi Dan Komunikasi Pendidikan Islam)

A.Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak akan pernah lepas dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia akan menjadi manusia, karena berhubungan dengan manusia. Meskipun keberadaan alam dan lingkungan sekitarnya sangat penting, namun perannya hanya sebagai pelengkap dalam proses kehidupan ini. Maka keberadaan satu sama lainnya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk berhubungan dengan sesamanya, tentu saja membutuhkan suatu sarana agar persepsi diantara keduanya dapat diterima. Sarana tersebut adalah melalui Komunikasi. Komunikasi berasal dari kata latin communis yang berarti “sama” communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama”.
Definisi komunikasi yang mudah dan gampang di ungkapkan menurut Harold Lasswell, yakni who says what in which chanel to whom with what effect atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana. Komunikasi merupakan proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol.
Seperti kita ketahui, adanya suatu bentuk pasti terdapat elemen-lemen yang menjadikan sesuatu itu ada. Demikian juga halnya dengan komunikasi. Komponen tersebut yakni, pertama Sumber (source) sering juga disebut pengirim (sender), penyaji (weoder), komunikator (communicator), pembicara (speacker), atau originator, yakni pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, baik secara individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan negara.
Kedua, adalah pesan, yaitu merupakan simbol verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan dan lain-lain. Ketiga, adalah saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesan kepada penerima. Ke-empat, penerima (receiver) sering juga disebut sasaran atau tujuan (destination), penyandi balik (decoder), komunikate (communicate) atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter) yakni orang yang menerima pesan. Kelima, efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya pemahaman, perubahan, perubahan keyakinan, perubahan prilaku dan sebagainya.
Secara sederhana proses komunikasi tersebut digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Usman Abu Bakar (2003)

Adapun tujuan diadakannya komunikasi, menurut Gordon I Ziemmerman dibagi menjadi 2 kategori besar. pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kehidupan kita. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi komunkasi mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain.
Sedangkan fungsinya, menurut Rudolph F Verderber ada 2, yakni fungsi sosial, yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Dan fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada suatu saat tertentu. Seperti, apa yang akan kita makan pagi ini, apakah kita akan kuliah atau tidak, bagaimana belajar untuk menghadapi ujian dan lain sebagainya.
Di dalam suatu sistem informasi dan komunikasi, sifat komunikasi terdapat sistem tertutup dan terbuka. Artinya, dari situ kita dapat mengetahui apakah sistem tersebut tidak menerima input dari luar atau dapat menerima input dari luar. Dengan demikian proses interaksinya tidak hanya terjadi di antara komponen dan atribut yang berada di dalam suatu kapsul, tetapi juga dengan lingkungannya. Oleh karena itu, proses balikannya dapat menghasilkan perubahan yang tidak mutlak bersifat normative, tetapi bersifat lentur dan terbuka untuk perkembangan dan pembaruan (deskriptif).
Semua proses komunikasi ini, terjadi dalam suatu konteks atau keterpaduan tertentu. Paling sedikit proses ini akan mencakup dimensi-dimensi kejiwaan (perilaku para pelaku), sosial atau komunitas, fisik, serta waktu. Artinya proses komunikasi tersebut akan sangat dipengaruhi oleh sikap dan motivasi komunikasi sebagai sumber, daya tangkap, sikap komunitas sebagai interlocutor (kawan bicara) kecukupan sarana, serta kesempatan waktu.

B. Komunikator dalam Pendidikan Islam.
Dalam masyarakat informasi, definisi manajer yang benar adalah bukannya mereka yang mampu memberikan pencapaian produksi yang banyak, efektif dan efisien, tetapi adalah mereka yang mampu memberikan tanggung jawab pada penampilan nilai-nilai kemanusiaan dan penampilan keilmuwan yang tinggi sekaligus. Dengan demikian, knowledge tidak semata-mata menjadi alat ketiga, tetapi telah berubah menjadi sistem kerja dalam tata kehidupan bersama. Dan sejak itu pula, modal kerja telah bertambah menjadi “sumberdaya alam”, “sumberdaya manusia”, dan kini bertambah satu lagi yakni “sumberdaya Ilmu”.
Dalam dunia Pendidikan, yang menjadi komunikator adalah seluruh komponen yang ada di dalam lembaga tersebut. Mulai dari Kepala Sekolah, Dewan Guru, Staf karyawan, Murid, sarana prasarana, kurikulum, dan lain sebagainya. Oleh karena itu tanggung jawab seorang manajer terletak pada masing-masing komponen tersebut, artinya masing-masing komponen bertanggung jawab atas kapasitasnya.
Pada setiap penelitian khusus mengenai pekerjaan-pekerjaan perusahaan/lembaga –lembaga pendidikan khususnya¬- umumnya dilakukan oleh subsistem penelitian Sumberdaya manusia. Penelitian ini mengungkapkan tugas-tugas pekerjaan yang harus dilaksanakan, pengesahan dan keahlian yang diperlukan, dan tingkat kompensasi yang sesuai. Maka Sumberdaya manusia harus mengetahui perkembangan yang terjadi yang terakhir dari berbagai pengaruh lingkungan yang mempengaruhi arus personil, karena semua ini merupakan tanggung jawab subsistem Intelijen Sumberdaya Manusia.
Adapun tantangan terhadap pembangunan Sistem Informasi ini, sebagaimana terdapat dalam GIS (Global Information System) yakni:
1.Tantangan Teknologi
Kadang-kadang sebuah lembaga dipaksa menggunakan perangkat berat, perangkat lunak dan fasilitas komunikasi tertentu, karena keterbatasan pemerintah. Keterbatasan ini menyulitkan tercapainya standar perangkat keras dan perangkat lunak secara global dan menambah waktu dan usaha yang diperlukan untuk menerapkan sistem itu.
2.Tantangan Budaya
Yang lebih sulit adalah tugas menerapkan teknologi komputer dalam berbagai budaya yang berbeda. Budaya mempengaruhi kinerja spesialis informasi dan kebutuhan informasi pemakai.

Dalam bidang pendidikan, manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Untuk menjalankan organisasi pendidikan, diperlukan manajemen pendidikan yang efektif. Sekolah harus dikelola dengan manajemen efektif yang mengembangkan potensi peserta didik sehingga memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang mengakar pada karakter bangsa. Dengan kata lain, salah satu strategi yang menentukan mutu pengembangan SDM di sekolah untuk kepentingan bangsa dimasa depan adalah peningkatan kontribusi manajemen pendidikan yang berorientasi mutu (quality oriented).
Dalam realitasnya, tantangan krusial yang dihadapi oleh manajer atau pengelola lembaga pendidikan, dewasa ini, yakni bagaimana upaya mengelola sekolah, akademi dan universitas agar dapat berkembang dan berkualitas. Kerja keras tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya proses saling mendukung antara peserta didik, yakni guru, siswa, sarana prasarana kurikulum dan lainsebagainya.
Institusi pendidikan perlu dikelola untuk mencapai hasil yang optimal. Disini hasil optimal itu ditandai mutu kelulusan yang andal dan sesuai dengan harapan masyrakat. Hal ini penting dan strategis sekali karena peranan pendidikan terkait dengan masa depan suatu bangsa. Karena keberhasilan dalam pendidikan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa.
Manajemen mutu dalam pendidikan dapat saja disebutkan “mengutamakan pelajar” atau “problem perbaikan sekolah”, yang mungkin dilakukan secara lebih kreatif dan konstruktif. Penekanan paling penting bahwa mutu terpadu dalam programnya dapat mengubah kultur sekolah. para pelajar dan orang tuanya menjadi tertarik terhadap perubahan yang ditimbulkan manajemen mutu terpadu melalui berbagai program perbaikan mutu.
Adapun, aplikasi TQM (Total Quality Manajemen) dalam satuan pendidikan dapat pula disebut Total Quality School (TQS) sebagaimana Acaro (1995) mengemukakan 5 pilarnya yaitu :
1.Fokus kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal
2.Adanya keterlibatan total
3.Adanya ukuran baku mutu kelulusan sekolah
4.Adanya komitmen, dan
5.Adanya perbaikan yang berkelanjutan.
Semua itu akan berjalan dengan baik apabila mendapat dukungan dari semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan, yakni peserta didik, masyarakat dan pemerintah.

C.Massage (Pesan) yang Efektif
Seluruh kegiatan yang ada dalam satuan lembaga pendidikan adalah pesan. Secara spesifik pesan tersebut dapat terlihat melalui publikasi baik secara lisan maupun tertulis. Sarana yang digunakanpun bermacam-macam, sesuai dengan keinginan maupun kemampuan finansial lembaga tersebut.
Pesan yang disebarkan melalui media masa ini bersifat umum (public), karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok tertentu.
Isi pesan dalam Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Islam adalah segala yang ada di dalam lembaga pendidikan. Semua aspek yang terdapat dalam lembaga tersebut terdapat komponen-komponen yang dianggap menjadi pesan efektif yakni:
1.Komponen Teknologi Pendidikan meliputi:
a.Asumsi-asumsi kebutuhan serta rumusan tujuan pendidikan dan pengajaran yang dirancang untuk keperluan proses belajar mengajar.
b.Memahami pengalaman belajar subjek didik dan pemilihan cara-cara pengajaran.
c.Tenaga kependidikan, bahan dan alat pendidikan serta fasilitas phisik yang diperlukan.
d.Sumber belajar yang diperlukan untuk pengalaman belajar subjek didik.
e.Hasil belajar yang diharapkan, evaluasi dan pengembangan.

2.Komponen Fasilitas dan sumber belajar Teknologi Pendidikan, meliputi:
a.Terjadi objek nyata yang akan disajikan selama proses belajar mengajar berjalan.
b.Pemanfaatan semua fasilitas dan sumber belajar akan disesuaikan dengan setiap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
c.Mutu pendidikan tidak sekedar tersedianya semua sarana media akan tetapi lebih banyak tergantung kepada kemampuan pendidik dan sekolah dan sekolah dalam menggunakannya, memilih dengan cermat dan tetap sesuai dengan metoda yang diterapkan.

3.Citra Pendidikan Berorientasi Mutu Hasil meliputi:
a.Memiliki kelengkapan fasilitas dan sumber belajar diperhatikan dari kondisi bangunan pusat-pusat pendidikan.
b.Mengikuti trend perkembangan bahan dan alat belajar mengajar dengan teknologi pendidikan.
c.Memiliki kelengkapan sarana sumber belajar di luar sekolah.
d.Memiliki kelengkapan pusat media dan sumber belajar (pada tingkat perguruan tinggi) serta tenaga ahli teknologi pendidikan.

4.Profesionalisme Staf Ahli Teknologi Pendidikan, meliputi;
a.Profesional media, yakni semua tenaga ahli media, bertanggung jawab atas perencanaan, pengembangan, pemanfaatan serta peningkatan mutu fasilitas sumber belajar.
b.Spesialis media, staf ahli yang bertanggung jawab pada pusat sumber belajar.
c.Manajer program media bertugas dan bertanggung jawab pada pusat media dan sumber belajar di pemerintahan.
d.Teknisi media, tenaga staf yang bertanggung jawab dan memiliki keterampilan oleh data elektronik.
e.Administrator media, staf yang melayani admisi pusat-pusat media.
f.Ahli evaluasi media.

Salah satu isi pesan dalam Komunikasi Pendidikan Islam adalah Proses di dalam Total Quality School. Proses tersebut digambarkan sebagai berikut:
Total Quality School
















Proses selanjutnya adalah:

Total Quality School









\








D.Media sebagai sarana Proses Transformasi dalam Komunikasi Pendidikan Islam.
Sebuah pesan tidak dapat diterima oleh audiens apabila tidak pernah dikomunikasikan. Untuk mengkomunikasikan pesan tersebut sangat dibutuhkan akan adanya media, baik elektronik maupun media cetak. Maka peran media menjadi penentu, apakah pesan tersebut efektif atau sebaliknya terjadi miskomunikasi.
Media ini dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua. Dia merupakan alat yang ampuh dalam memberikan manfaat yang semaksimal mungkin kepada masyarakat sesuai dengan ketepatan dan besarnya pengarahan. Media yang sehat dapat memainkan peranan penting dalam membina generasi dan mendorongnya menaiki jenjang kemajuan. Demikian juga sebaliknya, media dapat merusak generasi muda yang sedang gencar-gencarnya mencari jati diri.
Untuk menyiasati media massa, kita harus mengenal seluk beluk Jurnalistik. Dunia jurnalistik sangat erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik merupakan salah satu bentuk spesialisasi dari komunikasi massa, yakni komunikasi yang dilakukan melalui media massa. Media massa yang kita kenal saat ini adalah; a) media cetak, terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, b) media elektronik, terdiri dari radio, televisi, dan lain-lain.
Komunikasi bermedia komputer, internet, dapat memperlancar penanggulangan hambatan-hambatan karena terbatasnya ruang dan waktu. Jadi lokasi secara fisik sudah tidak relevan lagi. Dengan teknologi baru bermedia komputer ini, setiap orang ataupun pegawai dapat berhubungan dengan siapapun, dan dimanapun dalam organisasinya.
Sudah bukan masalah lagi apakah mereka dalam satu gedung atau mereka dipisahkan oleh jarak geografis. Karena pesan-pesan komunikasi bermedia komputer dapat menerobos hirarki tradisional dan hambatan-hambatan departemennya dengan mudah, batas-batas organisasi dapat hilang karena hubungan yang melekat dengan proses komunikasi organisasi, komunikasi bermedia komputer dapat menentukan norma-norma, prilaku, dan keputusan organisasi. Jadi implikasi sistem komunikasi bermedia komputer harus menjadi perhatian pokok semua orang..
Setiap media komunikasi mempunyai Gramatika. Setiap gramatika media dibiaskan untuk kepentingan indera tertentu, bukan untuk kepentingan waktu/ruang, karena orang-orang menggunakan media tertentu, mereka secara berlebihan mengandalkan indera yang berkaitan dengan media tersebut. Maka sampai tahap ini, media merupakan perpanjangan dari indera manusia, berbicara sebagai perpanjangan indera untuk suara, cetakan merupakan perpanjangan dari indera untuk penglihatan, dan media elektronik tertentu, terutama televisi adalah perpanjangan indera peraba (perasaan, sentuhan, sistem syaraf).
Dalam bentuk yang sederhana, lembaga pendidikan juga dapat menggunakan brosur-brosur, pamflet, majalah, kostum, sticker, serta berbagai souvenir (cinderamata) yang didesain dengan mencantumkan nama lembaga tersebut. Selain itu dapat juga dengan mempublikasikan bentuk-bentuk kegiatan sosial seperti Seminar, event-event turnamen, bahkti sosial maupun kegiatan-kegiatan lainnya.
Dengan sosialisasi yang demikian, secara otomatis khalayak dapat menangkap pesan yang disampaikan melalui pemberitaan. Karena berita adalah informasi yang lebih atau kurang penting dibutuhkan orang dalam melakukan penyesuaian terhadap keadaan yang berubah, berita dicari, bahkan dengan pengorbanan besar, karena diperlukan untuk memperoleh posisi dalam dunia yang berubah dengan cepat.

E.Khalayak/ stakeholder yang dituju.
Khalayak atau masyarakat adalah bagian dari proses komunikasi yang tidak kalah penting, sekaligus menjadi Komunikannya (orang yang menerima pesan). Tanpa ada khalayak informasi akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu peran khalayak sangat dibutuhkan sebagai tempat mensosialisasikan program-program dalam lembaga pendidikan. Khalayak juga sekaligus menjadi pelanggan.
Menurut Soerjono Soekanto, khalayak dapat dibedakan menjadi, rural community dan urban community. Istilah Rural community diterjemahkan sebagai “masyrakat setempat”. Istilah ini menunjuk kepada sebuah warga desa, suku atau bangsa. Cirinya apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan makna yang utama, maka kelompok tadi disebut masyakarat setempat. Adapun yang dimaksud urban community adalah masyarakat perkotaan, yakni masyarakat yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Tekanan pengertian “kota”, terletak pada sifat serta ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Khalayak atau komunikan merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi sebagai sasaran yang dituju oleh komunkator yang bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontrak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal, jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan lain sebagainya.
Adapun ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam suatu lapisan serta seberapa besar pengaruhnya adalah sebagai berikut:
1.Ukuran kekayaan. Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas.
2.Ukuran Kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar, menenpati lapisan teratas.
3.Ukuran kehormatan. Orang yang paling disegani dan dihormati mendapat tempat yang teratas
4.Ukuran Ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang mengharagai ilmu pengetahuan.
Perkembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk terjadinya; a) peningkatan kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakat, b) pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan, dan c) terjabarnya kebijaksanaan dan program pembangunan nasional untuk masyarakat pedesaan, dengan menitik beratkan pada prakarsa masyarakat itu sendiri. Singkatnya, pembangunan masyarakat merupakan upaya wajar yang didasarkan atas kebutuhan individual, masyarakat, dan pemerintah serta potensi-potensi yang tersedia atau dapat disediakan untuk mewujudkan kemajuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Sedangkan masyarakat informasi ditandai oleh: pertama, kebutuhan terhadap sumberdaya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Kedua, lapangan kerja yang dominant di bidang informasi. Ketiga, teknologi dasar yaitu elektronika dan computer. Ke-empat, lembaga pemicu kemajuan adalah universitas riset, dan Kelima adalah media komunikasi menggunakan media interkatif.

F. Feed Back (umpan balik) yang diharapkan.
Feed back (umpan balik) merupakan akhir dari sebuah proses komunikasi. Komunikasi yang baik, akan menghasilkan umpan balik yang baik juga. Umpan balik ini diberikan oleh komunikan atau khalayak kepada komunikator. Umpan balik juga terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda misalnya menerima, menerima dengan syarat, ataupun menolak.
Semua jenis umpan balik tersebut tertuang dalam bentuk Opini Publik (Social Judgement). Opini publik adalah kumpulan pendapat orang mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik minat komunitas, cara singkat untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang berlaku di masyarakat tertentu. Artinya pendapat atau pandangan tentang sesuatu. Karena itu, opini bersifat subjektif karena pandangan atau penilaian seseorang dengan selalu berbeda. Jadi, kendati faktanya sama, namun ketika orang beropini, antara orang yang satu dengan yang lainnya memperlihatkan adanya perbedaan.
Opini dapat dinyatakan secara aktif maupun pasif. Opini dapat dinyatakan secara verbal, terbuka dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara jelas ataupun melalui pikiran-pikiran kata yang sangat halus (dalam Koran misalnya) dan tidak langsung dapat diartikan.
Disinilah tantangan terberat yang harus dihadapi oleh manajemen informasi pendidikan Islam. Sebaik apapun publikasi yang dilakukan, apabila sudah ditangkap oleh khalayak akan menjadi multi-interpretasi. Tentunya persiapan mental lebih utama daripada perangkat keras lainnya.
Proses opini tersebut melalui tiga tahap: pertama, konstruksi personal, yakni tahap dimana individu mengamati segala sesuatu, menginterpretasikannya dan menyusun makna objektif secara sendiri-sendiri dan subjektif. kedua, konstruksi sosial, yakni tahap menyatakan opini melalui pemberian dan penerimaan opini pribadi dalam kelompok, mengungkapkan pandangannya bukan melalui kelompok, melainkan melalui kebebasan pribadi, dan menggungkapkan pandangan berdasarkan organisasi. Ketiga, konstruksi politik, yakni tahap yang menghubungkan opini publik dengan kegiatan publik.
Untuk memudahkan menginterpretasikan proses umpan balik, berikut adalah skema sederhana yang menggambarkan proses tersebut:





Sumber: Usman Abu Bakar (2003).
Sistem pengendalian umpan balik merupakan proses mengukur keluaran dari sistem yang dibandingkan dengan suatu standar tertentu. Terdapat empat komponen dalam sistem umpan balik ini. Yakni pertama, suatu karakteristik atau kondisi yang dikendalikan. Kedua, suatu sensor yang mengukur karakteristik atau kondisi tersebut. Ketiga, suatu unit pengendali yang membandingkan hasil ukuran sensor dengan suatu standar. Ke-empat, suatu pengatur yang menghasilkan masukan proses selanjutnya.
Selain sistem pengendalian umpan balik, terdapat sistem pengendalian umpan maju, disebut juga dengan positif feedback. Yakni karakter kerja sistem yang mendorong proses dari sistem supaya menghasilkan hasil balik yang positif. Contoh penerapan dari sistem pengendalian maju pada Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Islam adalah perencanaan atas pengembangan kurikulum. Kompetensi atas suatu mata ajar dapat dideteksi secara lebih dini sedari awal.
Oleh karena itu, apapun alasannya, pendidikan yang baik harus mampu memberi sumbangan pada semua bidang pertumbuhan individu, baik jasmani maupun segi struktural dan fungsional. Pendidikan yang baik juga membantu menumbuhkan kesediaan, bakat-bakat, keterampilan, dan kekuatan jasmaninya, begitu juga memperoleh pengetahuan. dalam bidang pertumbuhan akal (intellectual) pendidikan harus dapat menolong individu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan kesediaan bakat, minat dan kemampuan akalnya dan memberinya pengetahuan dan keterampilan akal yang perlu dalam kehidupannya anak didik.

G. Penutup
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan perlu strategi komprehensip terlebih dahulu. Terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh agar tidak terjadi pemborosan dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan perangkat keras saja.
Perkembangan teknologi komunikasi juga akan mempercepat terwujudnya rasa persatuan dari etnik dengan kebudayaanya yang khas. Melalui teknologi informasi akan dapat dikembangkan masyarakat telematika. Yakni masyarakat yang tidak mengenal batas geografi. Melalui jalan informasi (information super highway) maka akan dapat dijalin buka saja solidaritas suatu masyarakat demokrasi hanya dapat terlaksana dengan baik di dalam otonomi daerah.
Mengenai hasil pendidikan yang banyak dikatakan merosot, banyak sarjana menganggur misalnya, dan pendidikan menjamur, sekedar untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi, menurut Sindhudarmoko disebabkan kemajuan teknologi dan kebudayaan lebih cepat dari pendidikan itu sendiri. Ia berpendapat bahwa proses pendidikan itu cenderung tertinggal dari proses perkembangan yang terjadi di masyarakat, artinya kemajuan yang dicapai dibidang pendidikan (out put-nya) selalu ketinggalan dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Ungkapan tersebut sama halnya dengan kegelisahan Alvin Toffler sebagaimana pengantarnya dalam Future Shock (kejutan masa depan) yakni: pertama, bahwa kejutan masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih jauh, tetapi suatu penyakit nyata yang di derita oleh semakin banyak manusia. Kondisi psikologis-biologis ini dapat digambarkan dengan terminologi medis dan psikiatris. Penyakit ini ialah penyakit perubahan.
Kedua, sedikitnya orang yang tahu tentang penyesuaian diri, baik mereka yang menginginkan dan yang menciptakan perubahan besar dalam masyarakat kita, ataupun mereka yang seharusnya mempersiapkan kita untuk menghadapinya yakni dengan sistem “pendidikan demi masa depan”.
Oleh karena itu, informasi sudah tidak menjadi bagian pemenuhan kebutuhan dalam hal-hal tertentu, melainkan sudah menjadi kebutuhan setiap hari bagi siapa saja. Sebab gelombang ketiga tidak hanya mempercepat arus informasi kita, tetapi gelombang inipun mentransformasikan landasan struktur informasi yang selama ini menentukan prilaku sehari-hari. Jadi selama kita tidak cepat merubah Sistem pendidikan sekaligus menginformasikan perubahan tersebut, selama itu juga kita terus ketinggalan kereta.






































DAFTAR PUSTAKA

Aceng Abdullah. 2001. Press Relations, kiat berhubungan dengan media massa. Penerbit Remaja Rosda karya Bandung.
Alvin Toffler. 1992. Kejutan Masa Depan. Alih bahasa Sri koesdiyantinah sb. Penerbit Pantja Simpati Jakarta.
¬¬¬___________. 1992. Gelombang Ketiga (bagian kedua). Alih bahasa Sri Koesdiyantinah sb. Penerbit Pantja Simpati Jakarta.
Dan Nimmo. 1999. Komunikasi Politik, komunikator, pesan, dan media. Alih bahasa tjun surjaman. Pengantar Jalaluddin Rahmat. Penerbit Rosdakarya, Bandung.
Deddy Mulyana. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung.
Gordon I Zimmerman, James L Owen, dan David R Siebert. Speech Communication: A Contemporary Introduction. St. Paul : west 1977.
Hasan Langgulung. 2000. Asas-asas Pendidikan Islam. Penerbit al husna-zikra, Jakarta.
H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan, pengantar pedagogik transformatif untuk Indonesia. Penerbit Grasindo Jakarta.
Rudolph F Verderber. Communicate ! Belmont. California: wodswoeth. 1978.
Jusuf Amir Feisal. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Penerbit Gema Insania Press, Jakarta.
Mastuhu. 2004. Menata Ulang Pemikiran, sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21. penerbit kerjasama Magister Studi Islam UII dengan Safiria Insania Press, jogjakarta.
Muna Haddad Yakan. 1995. Hati-hati Terhadap Media yang Merusak Anak. Penerbit Gema Insania Press, Jakarta.
Onong Uchjana Effendy. 1998. Ilmu Komunikasi, teori dan praktek. Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung.
Raymond. Mc Leod. Jr. 1995. Sistem Informasi Manajemen. Alih bahasa Hendra Teguh, editor Hardi Sukardi.
R Wayne Pace & Don F Faules. 1998. Komunikasi Organisasi, strategi meningkatkan kinerja perusahaan. Editor Deddy Mulyana. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sintong Silaban. Dkk. 1993. Pendidikan Indonesia, dalam pandangan lima belas tokoh pendidikan swasta. Penerbit Dasamedia Utama Jakarta. Hal. 188.
Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudjana. 2004. Pendidikan Nonformal, wawasan, sejarah perkembangan, filsafat, teori pendukung, dan asas. Penerbit Falah Production Bandung.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, konsep, strategi, dan aplikasi. Penerbit Grasindo, Jakarta.
Tamotsu Shihbutani. 1965. Improvised News, the bobs- Merrill co, inc. Indianopolis.
Usman Abu Bakar. 2004. Materi perkuliahan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Islam.

Jumat, 06 November 2009

PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Interpretasi dan Pengertian Kurikulum
1. Interpretasi Kurikulum
Terdapat berbagai interpretasi dalam mendefinikan artikurikulum”. Tergantung kepada masing-masing kepercayaan filosofi orang per orang, berikut ini adalah beberapa interpretasi tentang kurikulum :
a. kurikulum adalah apa yang diajarkan di sekolah
b. kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran/subjek
c. kurikulum adalah konten
d. kurikulum adalah program dari belajar
e. kurikulum adalah seperangkat materi
f. kurikulum adalah urutan pengajaran
g. kurikulum adalah tampilan dari tujuan
h. kurikulum adalah pengajaran
i. kurikulum adalah segala sesuatu yang ada dalam sekolah termasuk kegiatan ekstra kelas, bimbingan, dan hubungan antar personal
j. kurikulum adalah sesuatu yang diajarkan secara langsung oleh sekolah baik di dalam maupun di luar sekolah
k. kurikulum adalah segala sesuatu yang direncanakan oleh personel sekolah
l. kurikulum adalah serangkaian pengalaman yan dijalani pebelajar di sekolah
m. kurikulum adalah suatu pegalaman individual pebelajar sebagai hasil dari pembelajaran di sekolah.

2. Pengertian Kurikulum
Terdapat delapan definisi kurikulum menurut beberapa ahli, yaitu :
a. Kurikulum adalah kelompok pengajaran yang sistematik atau urutan subjek yang dipersyaratkan untuk lulus atau sertifikasi dalam pelajaran mayor, misalnya kurikulum pelajaran sosial, kurikulum pendidikan fisika (Carter V. Good dalam Oliva, 191:6)
b. Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan guru ( Hollis L. Caswell and Doak S. Campbell dalam Oliva, 1991:6)
c. Kurikulum adalah sebagai sebuah perencanaan untuk memperbaiki seperangkat pembelajaran untuk seseorang agar menjadi terdidik (J. Galen Saylor, William M. Alexander, and arthur J. Lewis dalam Oliva 1991:6)
d. Kurikulum pada umumnya berisi pernyataan tujuan dan tujuan khusus, menunjukkan seleksi dan organisasi konten, mengimplikasikan dan meanifestasikan pola belajar mengajar tertentu, karena tujuan menuntut mereka atau karena organisasi konten mempersyaratkannya. Pada akhirnya, termasuk di dalamnya program evaluasi outcome (Hilda Taba dalam Oliva, 1991:6)
e. Kurikulum sekolah adalah konten dan proses formal maupun non formal di mana pebelajar memperoleh pengetahuan dan pemahaman, perkembangan skil, perubahan tingkah laku, apresiasi, dan nilai-nilai di bawah bantuan sekolah (Ronald C. Doll dalam Oliva, 1991:7)
f. Kurikulum adalah rekonstruksi dari pengetahuan dan pengalaman secara sistematik yang dikembangkan sekolah (atau perguruan tinggi), agar dapat pebelajar meningkatkan pengetahuan dan pengalamannnya (Danniel Tanner and Laurel N. Tanner dalam Oliva, 1991:7)
g. Kurikulum dalam program pendidikan dibagi menjadi empat elemen yaitu program belajar, program pengalaman, program pelayanan, dan kurikulum tersembunyi (Abert I. Oliver dalam Oliva, 1991:7).
h. Kurikulum mengandung konten (subject matter), pernyataan tujuan (terminal objective), urutan konten, pre-asesmen dari entri skil yang dipersyaratkan pada siswa ketika mulai belajar konten (Roert M. Gagne dalam Oliva, 1991:7).

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan definisi kurikulum adalah sebagai berikut:
Kurikulum adalah seperangkat perencanaan pengajaran yang sistematik yang berisi pernyataan tujuan, organisasi konten, organisasi pengalaman belajar, program pelayanan, pola belajar mengajar, dan program evaluasi agar pebelajar dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dan perubahan tingkah laku”.

B. Beberapa Istilah dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum dikenal ada lima istilah, yaitu pengembangan kurikulum (Curriculum development), perbaikan kurikulum (curriculum improvement), perencanaan kurikulum (curriculum planning), penerapan kurikulum (curriculum implementation), dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation).
Pengembangan kurikulum dan perbaikan kurikulum merupakan istilah yang mirip tetapi tidak sama. Pengembangan kurikulum merupakan istilah yang lebih komprehensif, di dalamnya termasuk perencanaan, penerapan, dan evaluasi dan berimplikasi pada perubahan dan perbaikan. Sedangkan perbaikan kurikulum sering bersinonim dengan pengembangan kurikulum, walaupun beberapa kasus perubahan dipandang sebagai hasil dari pengembangan.
Perencanaan kurikulum adalah fase pre-eliminer dari pengembangan kurikulum. Pada saat pekerja kurikulum membuat keputusan dan beraksi untuk menetapkan rencana yang akan dilaksanakan oleh guru dan siswa. Jadi perencanaan merupakan fase berfikir atau fase disain.
Penerapan kurikulum adalah menterjemahkan rencana ke dalam tindakan. Pada saat tahap perencanaan kurikulum, terjadi pemilihan pola tertentu organisasi kurikulum atau reorganisasi. Pola-pola tersebut diletakkan dalam tahap penerapan kurikulum. Cara-cara penyempaian pengalaman belajar, misalnya penggunaan tim pengajaran, diambil dari konteks perencanaan dan dibuat operasional. Penerapan kurikulum juga mentermahkan rencana menjadi tindakan dalam kelas, juga aturan pergantian guru dari pekerja kurikulum menjadi instruktur.
Evaluasi kurikulum merupakan fase terakhir dalam pengembangan kurikulum di mana hasilnya diases dan keberhasilan pebelajar dan program ditentukan. Fase ini akan dibahas lebih rinci pada langkah-langkah pengembangan kurikulum.

C. Sepuluh Aksioma dalam Pengembangan Kurikulum
Latar belakang pengembangan kurikulum didasarkan pada sepuluh aksioma yang sudah diyakini kebenarannya dan menjadi argumentasi dan kesimpulan. Aksioma-aksioma tersebut adalah :
1. Perubahan itu tak terelakkan dan penting karena melalui perubahan bentuk kehidupan tumbuh dan berkembang.
2. Kurikulum itu sebagai produk dari masyarakat
3. Perubahan yang terjadi secara bersamaan dan ada perubahan setelah ada kurikulum baru.
4. Perubahan kurikulum terjadi karena ada perubahan dalam masyaakat.
5. Perubahan kurikulum merupakan kerja sama semua kelompok.
6. Perubahan kurikulum merupakan proses pengambilan keputusan.
7. Perubahan kurikulum bersifat berkelanjutan dan tiad akhir.
8. Perubahan kurikulum merupakan proses yang komperehensif
9. Pengembangan kurikulum dilaksanakan secara sistematis.
10. Pengembangan kurikulum beranjak dari kurikulum yang sudah ada/kurikulum yang sudah ada.

D. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Ada dua pendekatan dalam pengembangan kurikulum yaitu berbasis pada kabupaten/kota dan berbasis pada Sekolah. Pada masing-masing pedekatan mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan-kelebihan pada pendekatan yang berbasis pada kabupaten/kota adalah kesamaan antar sekolah dimungkinkan sehingga memudahkan koordinasi, memudahkan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh pengawas selaku Pembina Sekolah. Sedangkan kelemahan-kelamahan pada pendekatan pengembangan kurikulum berbasis kabupaten/kota adalah tidak menutup kemungkinan belum secara tepat menyentuh perbedaan karakteristik antar Sekolah, juga sangat dimungkinkan tidak memuaskan pelanggan. Pendekatan berbasis pada Sekolah dalam pengembangan kurikulum memiliki kelebihan-kelebihan di antaranya kurikulum disusun sesuai karakteristik Sekolah, dan lebih banyak memberdayakan di level Sekolah. Sedangkan kelemahan-kelemahan pada pendekatan tersebut adalah mempersulit pengawasan dan pembinaan oleh pengawas karena keragamannya, mempersulit mutasi siswa karena perbedaan kurikulum antar Sekolah.

E. Landasan Pengembangan Kurikulum
Terdapat tiga Landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu landasan filosofi, landasan psikologi, dan landasan sosiologi. Masing-masing landasan sangat berperan dalam langkah pengembangan kurikulum.
1. Landasan Filosofi
Filsafat pada dasarnya adalah suatu pandangan hidup yang ada pada setiap orang. Dengan kata lain bahwa setiap orang mempunyai filsafat dalam arti pandangan hidup pada dirinya. Berkenaan dengan pendidikan, setiap orang mempunyai pandangan tertentu mengenai pendidikan. Berdasarkan pandangan hidup manusia itulah tujuan kurikulum dirumuskan.
Terdapat lima aliran filsafat pendidikan, yaitu filsafat perenialisme, essensialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan konstruktivime. Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologi
Terdapat dua landasan psikologi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi belajar (psychology of learning) dan psikologi perkembangan. Psikologi belajar digunakan sebagai landasan dalam men-screen tujuan pembelajaran umum/standar kompetensi/SK (tentative general objective) yang sudah dirumuskan untuk merumuskan precise education (kompetensi dasar/KD), dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar yang akan dirumuskan dalam kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan lebih berperan dalam pengorganisasian pengalaman-pengalaman belajar, yaitu pada tingkat pendidikan mana atau pada kelas berapa suatu pengalaman belajar tertentu harus diberikan karena harus sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Pada dasarnya dua landasan psikologi tersebut sangat diperlukan dalam pengebangan kurikulum yaitu pada langkah merumuskan tujuan pembelajaran, menyeleksi serta mengorganisasi pengalaman belajar.

3. Landasan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain. Dengan kata lain sosiologi berkaitan dengan aspek sosial atau masyarakat.
Sosiolologi mempunyai empat perenan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Empat peranan sosiologi tersebut adalah berperan dalam proses penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat, berperan dalam penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat, berperan dalam penyediaan proses sosial, dan berperan dalam memahami keunikan individu, masyarakat dan daerah.
Dalam merumuskan tujuan kurikulum harus memahami tiga sumber kurikulum yaitu siswa (student), masyarakat (society), dan konten (content). Sumber siswa lebih menekankan pada kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan siswa pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan perkembangan jiwa atau usianya. Sumber masyarakat lebih melihat kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan sumber konten adalah berhubungan dengan konten kurikulum yang akan dikembangkan pada tingkat pendidikan yang sesuai. Dengan kata lain landasan sosiologi digunakan dalam pengembangan kurikulum dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan memperhatikan sumber masyarakat (society source) agar kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

F. Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum
Pegembangan kurikulum meliputi empat langkah, yaitu merumuskan tujuan pembelajaran (instructional objective), menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar (selection of learning experiences), mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar (organization of learning experiences), dan mengevaluasi (evaluating).
1. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (instructional objective)
Terdapat tiga tahap dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tahap yang pertama yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan adalah memahami tiga sumber, yaitu siswa (source of student), masyarakat (source of society), dan konten (source of content). Tahap kedua adalah merumuskan tentative general objective atau standar kompetensi (SK) dengan memperhatikan landasan sosiologi (sociology), kemudian di-screen melalui dua landasan lain dalam pengembangan kurikulum yaitu landasan filsofi pendidikan (philosophy of learning) dan psikologi belajar (psychology of learning), dan tahap terakhir adalah merumuskan precise education atau kompetensi dasar (KD).
2. Merumuskan dan Menyeleksi Pengalaman-Pengalaman Belajar ( selection of learning experiences)
Dalam merumuskan dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar dalam pengembangan kurikulum harus memahami definisi pengalaman belajar dan landasan psikologi belajar (psychology of learning). Pengalaman belajar merupakan bentuk interaksi yang dialami atau dilakukan oleh siswa yang dirancang oleh guru untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Pengalaman belajar yang harus dialami siswa sebagai learning activity menggambarkan interaksi siswa dengan objek belajar. Belajar berlangsung melalui perilaku aktif siswa; apa yang ia kerjakan adalah apa yang ia pelajari, bukan apa yang dilakukan oleh guru. Dalam merancang dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar juga memperhatikan psikologi belajar.
Ada lima prinsip umum dalam pemilihan pengalaman belajar. Kelima prinsip tersebut adalah pertama, pengalaman belajar yang diberikan ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai, kedua, pengalaman belajar harus cukup sehingga siswa memperoleh kepuasan dari pengadaan berbagai macam perilaku yang diimplakasikan oleh sasaran hasil, ketiga, reaksi yang diinginkan dalam pengalaman belajar memungkinkan bagi siswa untuk mengalaminya (terlibat), keempat, pengalaman belajar yang berbeda dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama, dan kelima, pengalaman belajar yang sama akan memberikan berbagai macam keluaran (outcomes).

3. Mengorganisasi Pengalaman Pengalaman Belajar (organization of learning experiences).
Pengorganisasi atau disain kurikulum diperlukan untuk memudahkan anak didik untuk belajar. Dalam pengorganisasian kurikulum tidak lepas dari beberapa hal penting yang mendukung, yakni: tentang teori, konsep, pandangan tentang pendidikan, perkembangan anak didik, dan kebutuhan masyarakat. Pengorganisasian kurikulum bertalian erat dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Oleh karena itu kurikulum menentukan apa yang akan dipelajari, kapan waktu yang tepat untuk mempelajari, keseimbangan bahan pelajaran, dan keseimbangan antara aspek-aspek pendidikan yang akan disampaikan.


a. Jenis Pengorganisasian Kurikulum
Pengorganisasian kurikulum terdiri atas beberapa jenis, yakni: (1) Kurikulum berdasarkan mata pelajaran (Subject curriculum) yang mencakup mata pelajaran terpisah-pisah (separate subject curriculum), dan mata pelajaran gabungan (correlated curriculum). (2) Kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang berdasarkan fungsi sosial, masalah, minat, dan kebutuhan, berdasarkan pangalaman anak didik, dan (3) berdasarkan kurikulum inti (core curriculum).
1) Subject Curriculum
a) Separate curriculum
Tujuan dari kurikulum ini untuk mempermudah anak didik mengenal hasil kebudayaan dan pengetahuan umat manusia tanpa perlu mencari dan menemukan kembali dari apa yang diperoleh generasi sebelumnya. Sehingga anak didik dapat membekali diri dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan telah tersusun secara logis dan sistematis tidak hanya untuk memperluas pengetahuan tetapi juga untuk untuk memperoleh cara-cara berpikir disiplin tertentu.
Keuntungan kurikulum ini, antara lain: (1) memberikan pengetahuan berupa hasil pengalaman generasi masa lampau yang dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman seseorang. (2) mempunyai organisasi yang mudah strukturnya. (3) mudah dievaluasi terutama saat ujian nasional akan mempermudah penilaian. (4) merupakan tuntutan dari perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru. (5) memperoleh respon positif karena mudah dipahami oleh guru, orangtua, dan siswa. (6) mengandung logika sesuai dengan disiplin ilmu nya. Kelemahan kurikulum berdasarkan mata pelajaran antara lain: terlalu fragmentasi, mengabaikan bakat dan minat siswa, penyusunan kurikulumnya menjadi tidak efisien, dan mengabaikan masalah sosial.
b) Corelated curriculum
Kurikulum ini merupakan modifikasi kurikulum mata pelajaran. Agar pengetahuan anak tidak terlepas-lepas maka perlu diusahakan hubungan antara dua matapelajaran atau lebih yang dapat dipandang sebagai kelompok namun masih mempunyai hubungan yang erat. Sebagai contoh, saat mengajarkan sejarah ada beberapa mata pelajaran yang berkaitan seperti geografi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan psikologi. Dan mata pelajaran yang digabungkan tersebut menjadi ‘broad field’. Namun demikian tidak bisa mengenyampingkan tujuan instruksionalnya atau yang sekarang lebih dikenal dengan kompetensi dasar, prinsip-prinsip umum yang mendasari, teori atau masalah di sekitar yang dapat mewujudkan gabungan itu secara wajar. Dengan menggunakan kurikulum gabungan diharapkan akan mencegah penguasaan bahan yang terlalu banyak sehingga akan menjadi dangkal dan lepas-lepas sehingga pada gilirannya akan mudah dilupakan dan tidak fungsional. Pada praktiknya kurikulum gabungan ini kurang dipahami para guru sehingga walaupun namanya ‘broad-field’ pada hakikatnya tetap separate subject-centered.
2) Integrated Currikulum
Kurikulum terpadu mengintegrasikan bahan pelajaran dari berbagai matapelajaran. Integrasi ini dapat tercapai bila memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahan dari berbagai didiplin ilmu. Sehingga bahan mata pelajaran dapat difungsikan menjadi alat untuk memecahkan masalah. Dan batas-batas antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Pengorganisasian kurikulum terpadu ini lebih banyak pada kerja kelompok dengan memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sebagai nara sumber, memperhatikan perbedaan individual, serta melibatkan para siswa dalam perencanaan pelajaran. Selain memperoleh sejumlah pengetahuan secara fungsional, kurikulum ini mengutamakan pada proses belajarnya. Kurikulum ini fleksibel, artinya tidak mengharapkan hasil belajar yang sama dengan siswa yang lain. tanggungjawab pengembangannya ada pada guru, orangtua, dan siswa.
3) Core Curriculum
Munculnya kurikulum inti ini adalah atas dasar pemikiran bahwa pendidikan memberikan tekanan kepada dua aspek yang berbeda, yakni: (1) adanya reaksi terhadap mata pelajaran teori yang bercerai-berai yang mengakumulasi bahan dan pengetahuan. (2) Adanya perubahan konsep tentang peranan sosial pendidikan di sekolah.
Dengan demikian, kurikulum inti memberikan tekanan pada keperluan sosial yang berbeda terutama pada persoalan dan fungsi sosial. Sehingga konsep kurikulum inti bersifat ‘society centered’, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan pada nilai-nilai sosial, (2) struktur kurikulum inti ditentukan oleh problem sosial dan per-kehidupan sosial, (3) pelajaran umum diperuntukkan bagi semua siswa, (4) aktivitas direncanakan oleh guru dengan siswa secara kooperatif.
b. Kriteria Pengorganisasian Pengalaman Belajar yang Efektif
Terdapat tiga kriteria utama dalam mengorganisasi pengalaman belajar, yaitu kontinuitas (continuity), berurutan (sequence), dan terpadu (integrity). Kriteria kontinuitas mengacu pengulangan elemen kurikulum yang penting pada kelas/level yang berbeda. Artinya pada waktu berikutnya pada kelas/level yang lebih tinggi pengetahuan dan skil yang sama akan diajarkan dan dilatihkan kembali dengan dikembangkan sesuai dengan psikologi belajar dan psikologi perkembangan anak. Kriteria berurutan (sequence) adalah berhubungan dengan kontinuitas tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana urutan pengalaman belajar diorganisasi dengan tepat pada kelas/level yang sama. Pengetahuan yang menjadi prasyarat akan disajikan sebelum pengetahuan lain yang memerlukan pengetahuan prasyarat tersebut. Kriteria terpadu (integrity) artinya mencakup ruang lingkup/scope pengetahuan dan skill yang diberikan kepada siswa, apabila pengetahuan diperoleh dari berbagai sumber, maka akan dapat saling menghubungkannya, saat menghadapi suatu masalah.

c. Elemen-elemen yang Diorganisasi
Elemen-elemen yang diorganisasi ada tiga yaitu konsep (concept), nilai (values), dan ketrampilan (skill). Konsep adalah berhubungan konten pengalaman belajar yang harus dialami siswa, nilai adalah berhubungan dengan sikap pebelajar baik terhadap dirinya sendiri maupun sikap pebelajar kepada orang lain. Sedangkan ketrampilan dalam hal ini adalah kemampuan menganalisis, mengumpulkan fakta dan data, kemampuan mengorganisasi an menginterpretasi data, ketrampilan mempresentasikan hasil karya, ketrampilan berfikir secara independen, ketrampilan meganalisis argumen, ketrampilan berpartisipasi dalam kelompok kerja, ketrampilan dalam kebiasaan erja yang baik, mampu mengiterpretasi situasi, dan mampu memprediksi konsekuesi dari tujuan kegiatan.

d. Prinsip-prinsip Pengorganisasian
Terdapat dua prinsip dalam mengorganisasikan kurikulum sekolah atau pengalaman belajar. Pengorgaisasian kurikulum harus bersifat kronologis (chronological) dan aplikatif. Kronologis artinya pengalaman belajar harus diorganisasi secara tahap demi tahap sesuai dengan pskologi belajar dan psoikologi perkembangan siswa. Sedangkan aplikatif berarti pengalaman belajar harus benar-benar dapat diterapkan kepada siswa.

4. Mengevaluasi (evaluating) Kurikulum
Langkah terakhir dalam pengembangan kurikulum adalah evaluasi. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan di mana data yang terkumpul dan dibuat pertimbangan untuk tujuan memperbaiki sistem. Evaluasi yang seksama adalah sangat esensial dalam pengembangan kurikulum. Evaluasi dirasa sebagai suatu proses membuat keputusan , sedangkan riset sebagai proses pengumpulan data sebagai dasar pengambilan keputusan.
Perencana kurikulum menggunakan berbagai tipe evaluasi dan riset. Tipe-tipe evaluasi adalah konteks, input, proses, dan produk. Sedagkan tipe-tipe riset adalah aksi, deskripsi, historikal, dan eksperimental. Di sisi lain perencana kurikulum menggunakan evaluasi formatif (proses atau progres) dan evaluasi sumatif (outcome atau produk).
Terdapat dua model evaluasi kurikulum yaitu model Saylor, Alexander, dan Lewis, dan model CIPP yang didisain oleh Phi Delta Kappa National Study Committee on Evaluation yang diketuai Daniel L. Stufflebeam.
Menurut model Saylor, Alexander, dan Lewis terdapat lima komponen kurikulum yang dievaluasi, yaitu tujuan (goals, subgoals, dan objectives), program pendidikan secara keseluruhan (the program of education as a totality), segmen khusus dari program pendidikan ( the specific segments of the education program, pembelajaran (instructional), dan program evaluasi (evaluation program). Komponen pertama, ketiga, dan keempat mempunyai konttribusi pada komponen kedua (program pendidikan secara keseluruhan). Pada komponen kelima, program evaluasi, disarankan sangat perlu untuk mengevaluasi evaluasi program itu sendiri, sebab hal ini suatu operasi idependen yang mempunyai implikasi pada proses evaluasi.
Pada model CIPP mengkombinasikan tiga langkah utama dalam proses evaluasi, yaitu penggambaran (delineating), perolehan (obtainin), dan penyediaan (providing); tiga kelas seting perubahan yaitu homeostastis, incrementalisme, dan neomobilisme); dan empat tipe evaluasi (konteks, input, proses, dan produk); serta empat tipe keputusan ( planning, structuring, implementing, dan recycling).
Evaluator kurikulum yang dipekerjakan oleh sistem sekolah dapat berasal dari dalam maupun dari luar. Banyak evaluasi kurikulum dibebankan pada guru-guru di mana mereka bekerja. Dalam mengevaluasi harus memenuhi empat standar evaluasi yaitu utility, feasibility, propriety, dan accuracy.
Evaluasi kurikulum merupakan titik kulminasi perbaikan dan pengembangan kurikulum. Evaluasi ditempatkan pada langkah terakhir, evaluasi mengkonotasikan akhir suatu siklus dan awal dari siklus berikutnya. Perbaikan pada siklus berikutnya dibuat berdasarkan hasil evaluasi siklus sebelumnya.




DAFTAR RUJUKAN
Bafadal. Ibrahim. 2007. Catatan Kuliah Manajemen Pengembangan Kurikulum di Prodi Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana (S2-Sandwich) UM. Malang

Oliva, Peter F. 1992. Developing The Curriculum 3rd Edition. New York: Harper Collins Publishers.

Sukmadinata, Nana Saodih. 2007. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tyler, Ralph W. 1973. Basic Principles of Curriculum and Instruction. London: Lowe and Brydone (Printers) Ltd .