Rabu, 01 April 2009

DILEMA SERTIFIKASI

SERTIFIKASI BELUM MAMPU MENDONGKRAK KUALITAS GURU
A. Kecurangan Kolektif.
Menurut pengamatan koordinator Education Watch, Satya Sandhatrisa Gunatmika (Koran Tempo, 27/09/08), dalam tulisannya menyatakan bahwa telah terjadinya “praktek kecurangan kolektif” yang dilakukan oleh para guru. Selain itu, banyak kasus kolusi dalam penentuan guru yang akan mengikuti ujian seleksi sertifikasi. Dinyatakan pula beberapa “permakluman” atas tindak kecurangan tersebut diakibatkan oleh keinginan yang kuat dari para guru untuk lulus dalam ujian sertifikasi lantaran syarat pengumpulan poin penilaian sangat berat dan tidak mungkin dicapai oleh para guru senior yang sibuk dengan urusan rumah tangga dan kegiatan belajar-mengajar.
Sesungguhnya, guru dalam hal ini hanyalah objek atau komoditas politik pemerintah. Seringkali diposisikan menjadi “terdakwa” manakala terjadi penyimpangan dalam proses pendidikan di negeri ini. Mereka selayaknya hanya diperlakukan sebagai “alat” saja. Sedikit sekali perhatian pemerintah dalam bentuk yang integral untuk menghargai guru. Padahal mereka adalah subyek dalam peningkatan kualitas SDM bangsa ini. Lihat saja para guru yang dikaruniai predikat PNS. Mereka cenderung jadi bulan-bulanan pemerintah melalui para pejabat Diknas di daerah-daerah untuk mengedepankan ketaatan dibandingkan kreatifitas. Laksanakan amanat pimpinan, demikian yang sering kali menjadi kalimat pamungkas untuk mempercepat setiap proses “politik” pendidikan. Inilah yang mengakibatkan para guru lebih senang mempercepat segala sesuatu yang bersifat top-down dari para pimpinan. Menciptakan budaya semacam inilah yang menjadi kesalahan pertama dari pemerintah.
Budaya menggunakan alat yang seringkali dipaksakan itu juga berimplikasi pada kesalahan pemerintah berikutnya, yaitu kelalaian dalam memelihara para generasi. Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop, dan diklat atau apapun istilah lainnya sangat minim sekali. Sudah menjadi rahasia para guru, bahwa yang dapat menikmati suguhan upgrading tersebut hanyalah segelintir dari mereka. Diutamakan yang dapat bekerjasama dengan pimpinan atau dianggap berprestasi “di mata” atasan. Sudah dapat ditebak, yang dapat mengikuti sertifikasi dengan baik dan benar juga akan menjadi sedikit saja. Sementara kuota yang demikian besar membuat, lagi-lagi, menyediakan celah penyimpangan. Terjadilah pemalsuan sertifikat, berkas-berkas terkait, data-data dan sebagainya.
Kesalahan kedua juga dikuatkan oleh proses upgrading yang sering tidak tepat tujuan. Alih-alih meningkatkan empat kompetensi guru sebagaimana amanat Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 10 tentang kompetensi guru dan pasal 32 tentang pembinaan dan pengembangan, maka yang terjadi adalah lebih banyak menguatkan kompetensi profesional yang lebih bersifat manaJerial kelas dan administratif. Kompetensi lain yang meliputi paedagogis, kepribadian dan sosial nyaris diabaikan. Pengembangan kompetensi tersebut hanya dilakukan dalam bentuk himbauan atau ceramah saja, inilah kesalahan ketiga dari pemerintah. Dari situasi ini nampak jelas, bahwa pemerintah belum sepenuhnya - kalau tak dibilang belum sama sekali – menyiapkan karakter guru berkualitas sebagaimana mestinya. Tiba-tiba sertifikasi dengan pendekatan penilaian portofolio. Character building belum terbentuk, kesalehan belum diwujudkan namun pemerintah sudah “mengiming-imingi” para guru dengan tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok sebagaimana tertera pada Peraturan Menteri No 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru pasal 6, maka sesunggunya telah terjadi kecurangan, kebohongan sekaligus pembodohan.
Menurut penulis, ini adalah bentuk lain terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dengan beban kerja yang sudah cukup lama dan berat, para guru juga harus melalui serangkaian proses yang secara tidak sadar cukup menyakitkan bahkan cenderung melecehkan harkat dan martabatnya untuk “memenuhi kebutuhan hidup” atau “program kesejahteraan guru”. Mungkin saja perilaku di atas hanya terjadi pada daerah atau orang perorangan, namun faktanya hal tersebut telah terendus oleh intern kalangan guru dan khalayak luas. Menjadi maklum karenanya manakala terjadi “friksi” antar guru dan (menimbulkan) pandangan negatif bagi profesi guru. Selayaknya pemerintah memperhatikan dan berhati-hati terhadap fakta-fakta efek negatif yang terjadi akibat kebijakan sertifikasi guru yang belum dipersiapkan secara matang tersebut. Sebagai manusia melakukan kesalahan adalah satu hal yang wajar, namun sebagai penguasa, melakukan kesalahan sekecil apapun adalah hal bentuk ketidak adilan yang harus dihindarkan dan diperbaiki.

B. Pemalsuan Ijazah
Menurut ketua pelaksana uji sertifikasi guru di Yogyakarta (kompas, 19/12/2008) Rochmat Wahab mengungkapkan, beberapa guru terbukti memalsukan ijazah dan akta guna mendongkrak nilai. Untuk memenuhi prasyarat utama berpendidikan S1 atau D4, guru-guru juga tak segan mengambil kuliah jalur cepat atau memalsukan keterangan lama mengajar. Kemungkinan terjadi manipulasi oleh guru bisa dimulai dari sejak penyusunan berkas. Kunci utama kebenaran berkas portofolio terletak di tangan tiap guru. Untuk mengurangi terjadinya kecurangan perlu adanya peran kepala sekolah untuk meminimalisasi potensi kecurangan.
Kepala sekolah bersama pengawas berperan sebagai evaluator atau penilai bagi guru. Apalagi, dari kumpulan dokumen yang harus dikumpulkan, antara lain, terdapat komponen penilaian dari atasan. Tak begitu sulit untuk mencapai poin minimal 850, asalkan tiap guru memiliki dokumentasi yang baik serta mengajar sesuai ketentuan yang berlaku. Guru yang tidak lulus biasanya karena kurang memiliki dokumentasi portofolio. Guru yang lulus sertifikasi berhak mendapat tunjangan profesional satu kali gaji pokok tiap bulan. Peningkatan kesejahteraan ini belum tentu akan meningkatkan mutu pengajaran. Padahal, pemerintah berharap kompetensi dan etos kerja guru bisa terdongkrak seiring pemberian tunjangan. Guru yang telah lulus uji sertifikasi diharapkan terus meningkatkan keteladanan dalam bekerja. Selanjutnya guru harus mampu mendidik dengan baik dan meningkatkan mutu pendidikan bagi siswa. Jangan sampai malah merasa sudah selesai dan tinggal menerima tunjangan.
Oleh Karena itu, pemerintah perlu mengakomodasi semua guru supaya bisa lulus uji sertifikasi, terutama dengan menyediakan anggaran yang cukup agar guru dapat mengikuti studi lanjut tanpa meninggalkan tugas mengajar. Beban mengajar perlu diatur sehingga kuliah para guru bisa lancar. Selain itu, pengaturan lebih lanjut tentang uji sertifikasi melalui penerbitan peraturan pemerintah diharapkan dapat mengatur mekanisme pemberian penghargaan bagi guru senior yang belum S1 atau D4. Masih ada pertanyaan yang sangat besar dalam pendidikan Indonesia, yaitu mampukan sertifikasi mendongkrak mutu pendidikan?.

C. Portofolio Tidak Mengukur Kompetensi Guru
Dalam undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dalam pasal 10 dijelaskan pada poin (1) dan (2), yaitu: (a) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kemudian dalam Permen Diknas no. 18 tahun 2007 pada dijelaskan bahwa ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Dalam aturan sertifikasi sebenarnya ada dua bentuk ujian yang harus dilakukan. Pertama, ujian tulis yang diilakukan untuk mengungkap kompetensi profesional dan pedagogik, sedang ujian kinerja dilaksanakan untuk mengungkap kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Kompetensi kepribadian dan sosial diamati pada waktu yang bersamaan saat peserta mengikuti pendidikan dan menempuh uji kinerja dalam praktek pembelajaran bagi guru kelas/guru bidang studi dan praktik konseling bagi guru BK. Ujian tulis dalam uji kompetensi ini menggunakan seperangkat tes yang jawabannya berupa pilihan dan essay. Alternatif jawaban bentuk pilihan dapat berupa pilihan ganda, benar salah, dan menjodohkan, sedangkan bentuk isian berupa isian singkat dan isian panjang/uraian
Kedua, ujian praktik, yaitu uji kinerja guru mengelola pembelajaran di kelas. Uji kinerja guru sekurang-kurangnya meliputi aspek (1) penyusunan RPP, (2) kegiatan pra pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), (3) kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, dan penggunaan bahasa), dan (4) penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut).
Namun dalam kenyataannya, bahwa untuk memperoleh sertifikasi guru, hanya dengan menyerahkan portofolio. Padahal jika dilihat dari aspek evaluasi, uji portofolio tidak menggambarkan kompetensi atau kemampuan para guru sesuai dengan Undang-undang No. 14 tahun 2005 pasal 8 yang menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Dalam Pasal 11 undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan pada poin (3) sebagai berikut: Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara transparan, objektif, dan akuntabel (dapat dipercaya/bertanggung jawab). Merujuk pada pasal di atas, ada beragai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para guru untuk dapat memperoleh sertifikat. Di samping itu, para penyelenggaranya juga harus memiliki akreditasi. Pada point (3) secara tegas dijelaskan bahwa sertifikat pendidik dilaksanakan secara stransparan, objektif dan akutabel (dapat dipercaya). Namun, yang sangat sulit untuk diidentifikasi dan di uji tingkat validitasnya adalah Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan S1 dan S2 yang tidak sesuai dengan standar proses pendidikan. Praktek ini banyak sekali terjadi di lapangan, dan diketahu oleh masyarkat, namun pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan, lemah sekali dalam mengontrol proses pendidikan untuk mencapai pada standar yang telah ditetapkan.
Tidak hanya lembaga-lembaga pelaksana kegiatan ilmiah seperti seminar, lokakarya dan sebagainya yang senang dengan adanya sertifikasi, akan tetapi juga perguruan tinggi tertentu yang senang dengan adanya sertifikasi guru. Hal ini dikarenakan guru pada saat ini banyak membutuhkan berbagai macam sertifikat, surat tanda penghargaan bahkan sampai kepada ijazah. Dengan demikian, semakin banyak pula lembaga-lembaga seperti Non-Government Organization (NGO) yang mengadakan berbagai acara yang tidak sesuai dengan sertifikat yang didapatkan oleh para peserta, dengan hanya membayar 250 ribu, para peserta bisa mendapatkan 5 sampai 10 sertifikat, dengan kegiatan yang dilakukan hanya dalam waktu sehari semalam. Di samping itu, saat ini masih banyak terdapat Perguruan Tinggi, yang mengadakan program pendidikan S-1 dan S-2 yang tidak memenuhi standar pendidikan, baik dari aspek waktu pembelajaran sampai kepada tingkat penyusunan karya ilmiah yang cenderung manipulatif.
Pelaksanaan program sertifikasi tujuan dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka akan dapat pula mendongkrak kualitas pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Meski proses sertifikasi guru sudah memasuki periode keempat, bukan berarti kendala dan permasalahan yang menyertai sertifikasi guru sirna. Bahkan, problematika yang berasal dari para peserta sertifikasi sendiri bermunculan, karena para guru saling berlomba melengkapi berbagai persyaratan sertifikasi dengan cara yang tidak benar. Terlebih, syarat sertifikasi hanya menyusun portofolio yang di dalamnya berisi berbagai dokumen mengenai kompetensi guru dalam berbagai bidang.
Semua guru ribut ikut seminar dan lokakarya agar mendapat sertifikat, legalisasi ijazah dengan cara scan, lengkap dengan tanda tangan kepala sekolah dan cap sekolah, termasuk ijazah S-1 yang entah berasal dari perguruan tinggi mana. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan tersebut adalah lemahnya pengarsipan data sehingga pada saat dokumen tertentu dibutuhkan, para guru kerepotan karena tidak terbiasa mengarsip. Guru-guru tidak biasa mengarsip sehingga ketika ada portofolio semua kebingungan. Hal seperti ini bisa saja lulus dalam proses sertifikasi. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwasannya asesor sebagai orang yang menilai portofolio melakukan kesalahan dan tidak cermat dalam melakukan penilaian.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita jujur, apakah kita layak atau tidak mendapat sertifikat pendidik sebagai pendidik profesional? Apa tidak malu jika kita bersertifikat profesional, tetapi ijazah yang kita miliki ditempuh dengan cara seperti itu?. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi lebih jelas dan sismatis kepada pada guru. Meski pemerintah sudah menyediakan panduan sertifikasi, tidak semua guru memperoleh informasi yang lengkap. Sebetulnya tidak bisa hanya guru yang disalahkan. Masalah perguruan tinggi yang tidak jelas, bukankah itu urusan pemerintah untuk meng-upgrade-nya, jadi guru tidak bisa sepenuhnya disalahkan.



1 komentar:

dzilal mengatakan...

Kalo kecurangan apapun yang trjadi di dunia pendidikan Indonesia, gak heran deh.
hehehe
Dan lebih gak heran lagi kalo itu menyangkut profesi, coz urusan perut juga akhirnya, dan mulut burung2 kecil di rumah yang nunggu diisi.

Oh iya. Pak! Protes nih.. Mana foto keluarganya?!

Saya gak ngerti dengan "Dasar pendidikn adalah cita2 kemanusiaan universal" Apakah itu beda dari "Cita2 pendidikan adalah kemanusiaan unversal"?

Apakah kurikulum dapat benar2 dibuat ancer2nya?
Saya berandai2 semua guru bisa jadi pembuat kurikulum... Tapi gak mungkin yah?

Kalo saja kurikulum adalah sebuah lingkungan belajar yang telah diatur baik lingkungan yang dapat diindra, konstrusi abstrak pengetahuan, ataupun sosialita yang pada akhirnya mempengaruhi pembelajaran....

Saya jadi berandai2 bangunan bertembok dengan fasilitas yang memadai, buku ajar yang lulus uji ahli2 pendidikan, dan bersekolah sebagai sebuah budaya yang punya norma2...
Membutuhkan lebih.

Kalo saya gak salah paham, di masa2 sekolah, anak2nya lebih terdidik oleh lingkungan dengan segala permasalahannya, dengan pendidikan diartikan sebagai kegiatan saling pengaruhmempengaruhi yang baik maupun yang buruk.
isu2nya siapa yang bisa masuk ke geng atau click, the haves n the have-nots, keren gak keren, perhatian, cinta. heheheh.. iya gak Pak?
(aduh berasa jadi anak sma ni)
sedangkan orang2 dewasa bisa lebih fokus.

Jadi, di masa2 sekolah pengaturan kurikulum yang gak nampak itu jauh lebih dibutuhkan. Dan artinya, peran aktif guru untuk menyiapkan kurikulum yang tepat terus menerus dibutuhkan.. Setiap hari sepanjang waktu, bergantung kepada isu apa aja yang lagi rame di kelasnya-daerah kekuasaannya.

Pak.. Tolong Komen blog saya dan komen saya yang gak bermutu ini.. Kritik saran doa selaluuu saya harapkan

Dan foto kluarga

Matur nuwun..